[caption id="attachment_328993" align="aligncenter" width="448" caption="Kokoh: Andaikata kompasianer punya organisasi. (Sumber ilustrasi di bawah artikel)."][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Pertanyaan ini muncul ketika Thamrin Sonata dan saya bersua dengan manajer Kompasiana, Kang Pepih Nugraha, beberapa waktu silam. Pertanyaan sama juga mengemuka saat berbincang santai dengan Isson Khairul dan Syaiful W. Harahap menjelang bedah-buku Pancasila Rumah Kita Bersama (10/10) di markas kompasiana di Jln. Palmerah Barat itu.
Izinkanlah saya menjelajahi gagasan tersebut, meski belum tentu disepakati pihak kompasiana. Secara garis besar, fakta tak dimungkiri, jumlah kompasiner telah mencapai “sekitar” 29.000 orang—sebuah jumlah sangat besar untuk sebuah komunitas blogger dalam satu naungan. Mengapa “sekitar”? Karena jumlahnya memang tidak fixed, terlebih jika diukur dari keaktifannya dalam berkarya.
Tentu saja, secara sederhana, perlukah organisasi bagi kompasianer? Untuk saat ini, mungkin tidak perlu, mungkin! Tanpa organisasi pun, nyatanya kompasiana (dengan kru dan admin yang ada) telah melayani dan me-rating postingan artikel ratusan tulisan setiap hari, melayani nangkring, juga kompasianival. Selama ini lancar jaya. Untuk apa organisasi, bikin repot saja? Toh blog kroyokan lain semacam indonesiana.com mungkin juga tidak membentuk organisasi.
Namun, coba bayangkan jika organisasi dibangun, apa yang terjadi? Modal utama sudah tersedia, yakni blog sosial, tempat untuk terhubung dan berbagi, dengan kapasitas besar. Itu wahana untuk semakin merekatkan hubungan ke-29.000-an kompasianer, yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Betapa kian sehatnya hubungan antar kompasianer jika mereka dimasukkan ke dalam wadah organisasi yang non-partisan.
Jumlah besar yang tak terorganisasi dengan baik tidaklah lebih kuat daripada jumlah kecil yang dikelola secara rapi. Forum Lingkar Pena (FLP) adalah sebuah contoh nyata. FLP yang dirintis Helvy Tiana Rosa ini merupakan komunitas penulis yang anggotanya kebanyakan anak-muda (termasuk mahasiswa dan BMI), kini jumlahnya mencapai ribuan orang. Ada puluhan cabang FLP yang eksis di berbagai kota.
Sebagai sebuah organisasi, FLP membangun pranata dan aturan yang ditegakkan secara disiplin, hingga sistem perekrutan anggota. Organisasi mereka cukup kokoh, mulai pengurus pusat hingga pengurus daerah. Praktisnya, jika akan digelar suatu kegiatan, misalnya, pelatihan menulis di Surabaya, cukuplah FLP Surabaya yang ditunjuk atau tampil sebagai panitia penyelenggara. Mereka berkembang berdasarkan sistem.
Selain FLP, ada juga Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia, yang bermarkas di Pare Kediri. FAM juga memiliki cabang di berbagai daerah, dan sistem keorganisasiannya lebih kurang sama dengan FLP. Di samping itu, tentu masih ada komunitas penulis yang lain, yang tersebar di berbagai daerah, yang kian aktif mengembangkan sayapnya—misalnya Jaringan Literasi Indonesia, Forum Guru IGI Menulis, Gerakan Guru Menulis Buku, Forum Dosen Indonesia, dan sebagainya.
Potensi media yang tak dimiliki komunitas penulis semacam FLP atau FAM adalah belum adanya blog keroyokan yang berkapasitas sangat besar. Ini sebuah keungulan yang patut dipertimbangkan. Inilah tempat untuk menampung semua tulisan yang dihasilkan para kompasianer, nyaris pada hitungan tak terbatas. Sementara, penulis sangat perlu mempublikasikan karyanya. Inilah posisi strategis kompasiana.
Dengan posisi media demikian, agaknya tak perlu tabu bagi kompasianer untuk membentuk organisasi. Ada pengurus (manajemen) pusat, ada pula pengurus daerah. Laiknya organisasi, kompasianer akan lebih mudah menjalankan kegiatan-kegiatan literasinya—bukan hanya melakukan diskusi bareng secara internal, melainkan juga pelatihan dan pendampingan bagi masyarakat luas. “Kompasianer masuk kampus, boleh juga,” begitu usulan Isson Khairul.
Keuntungan lain, organisasi kompasianer akan memperjelas identitas keanggotaan. Karena setiap anggota terdaftar sah dalam data-base—dengan memiliki kartu anggota, misalnya—akan lebih mudah untuk mengidentifikasi status, minat, kemampuan, dan sebagainya. Dengan demikian, tidak akan ada kompasianer yang sengaja menyembunyikan identitasnya. Menulis akan terasa enak, berkomentar pun juga nyaman. Kompasiana akan menjadi “kampus menulis” yang amat menyenangkan.
Jika organisasi telah terbentuk, kegiatan demi kegiatan tidak harus terpusat di Jakarta. Kompasianer daerah pun perlu diberi kesempatan untuk mengelola kegiatan-kegiatan yang pantas, dan pengurus pusat tinggal mendukungnya belaka. Tentu saja, pengurus pusat tidak harus berpusing-ria dengan sponsorship dan iklan yang mungkin men-support kegiatan di daerah. Awal-awalnya mereka perlu dibantu, selanjutnya bisa “disapih” (dilatih mandiri) untuk hidup sendiri.
Juga, tatkala organisasi para kompasianer telah terbentuk di daerah, bisa digelar saling-tukar narasumber dalam forum diskusi atau bedah buku. Jika di Semarang akan digelar diskusi tentang “Menulis Fiksi”, misalnya, datanglah teman kompasianer yang ahli fiksi dari Yogyakarta. Jika di Bandung akan digelar workshop “Menulis Opini”, hadirlah narasumber kompasianer dari Surabaya, Jakarta, atau kota lain. Dalam konteks demikian, edifikasi antar penulis (kompasianer) dapat berlangsung dengan alamiah.
Jangan lupa, jika organisasi itu terbentuk di berbagai daerah, sponsorship atau iklan juga akan keluar dari sarangnya. Mereka juga memerlukan wadah untuk men-display barang dan jasa yang dipromosikan atau diiklankan kepada publik. Pengurus daerah akan mengenal apa yang perlu dilakukannya terhadap pihak-pihak penyedia sponsorship atau pemasang iklan.
Coba bayangkan, jika para kompasianer aktif dapat digerakkan (dengan sokongan sponsor atau indie publishing atau penerbit mayor) untuk menulis buku mereka sendiri, taruhlah setiap kota 50 buku per tahun, akan berapa buku secara akumulatif se-Indonesia? Sebuah upaya kultural yang perlu tenaga dan stamina besar memang. Namun, jika ini terwujud, kompasiana akan tercatat sebagai media literasi yang ikut menyelamatkan bangsa dari ancaman kiamat literasi.***
Surabaya, 14/10/2014
Sumber ilustrasi: http://www.psychologymania.com/2013/01/elemen-budaya-organisasi.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H