Lihat ke Halaman Asli

Pernikahan Raffi-Gigi dalam Kuasa Media

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1414707496861773722

[caption id="attachment_332227" align="alignnone" width="620" caption="Gaya Raffi jadi tren: Pesta pernikahan di Bali (Sumber ilustrasi di bawah artikel)."][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Pernikahan Raffi-Gigi digelar mewah laksana royal wedding, bahkan melebihi keglamoran ngundhuh mantu-nya Sultan Jogja atau pernikahan Anang Hermansyah-Ashanty. Pernikahan itu mulai prosesi lamaran, siraman, midodareni, hingga pestanya diliput media habis-habisan tanpa henti-hentinya. Ini laksana pesta negeri dongeng.

Media, terutama televisi, sebagai bagian industri budaya telah melihat, pasangan mempelai itu sangat digilai masyarakat pemirsa (terutama kaum muda) hingga kecanduan akut. Sebagai simbol kesuksesan selebritis, mereka adalah komoditas yang layak jual. Pasarnya jelas, masyarakat Indonesia—kebanyakan!

Bahkan Raffi-Gigi merupakan anak-emas media dan entertainment. Mereka telah menyedot perhatian pemirsa secara masif dan hegemonik. Lain kata, pemirsa telah memasrahkan diri suka-rela untuk kecanduan terhadap acara-acara entertainment yang mereka tampilkan. Bagi orang-orang tertentu, Raffi adalah kekasih hati tersembunyi.

Di mata publik mereka pujaan, di mata media mereka komoditas. Dengan menjual popularitas mereka (sesuatu yang juga media ciptakan), keuntungan baru diraupnya. Wajar, namanya juga bisnis, pastilah bicara kapital dan untung. Keuntungan itu bukan hanya berupaka iklan, melainkan juga imej besar bahwa media telah menggelar hajat mantunya dengan sukses.

Jadi, siapakah yang bermain kuasa dalam pernikahan ini? Tidak lain tidak bukan adalah media, sebagai kepanjangan tangan industri budaya. Disokong oleh kekuatan kapitalisme, media telah menguasai kesadaran masyarakat yang memang sedang dirundung malang di dunia realitas semu. Masyarakat telah dibuatnya tidak berdaya, kecuali harus menonton tayangan yang terus membombardir layar kaca mereka.

Klop sudah kiranya transaksi sosial antara media dan masyarakat pemirsa. Masyarakat sedang tergila oleh tayangan-tayangan yang melenakan, killing time, dan membantu mereka melupakan sejenak berbagai kerumitan hidup. Sementara, media menawarkan apa yang diharapkan oleh masyarakat pemirsa menjalani realitas semunya.

Kekuasaan media telah membuat pernikahan Raffi-Gigi nyaris di luar ekspektasi mereka. Para sponsor berdatangan, para sahabat memberikan sumbangan atau hadiah, para pejabat memberi restu. Bahkan saat gelar pesta ribuan tamu undangan berjejalan antri hanya untuk memberikan ucapakan selamat dan panjatan doa. Para tamu ingin membuktikan keingintahuan mereka tentang berbagai berita terkait pasangan dan prosesi pernikahan royal tersebut.

Mengapa media begitu kuat kuasanya dalam hal ini? Tentu, mereka berhasil merebut dan menaklukkan kesadaran “semu” pemirsa dengan memberikan wadah untuk kepuasaan hasrat berupa entertainment, yang membantu mereka melakukan objektifikasi atas pernikahan sendiri—mengandaikan diri berada di dalam pesta royal itu.

Itulah kecerdasan industri budaya dalam memainkan kuasa media. Momentum sakral pernikahan pun diseret ke dalam ranah transaksi budaya, dan pasangan manten menjadi komoditas yang mahal. Pada satu sisi ada masyarakat pemirsa yang terpuaskan, di sisi lain ada pemasukan yang menambah pundi-pundi keuangan.

Lebih dari itu, kuasa media telah membawa pernikahan ke dalam suasana display produk budaya massa/pop—ada pameran fashion di kalangan para tamu, terlebih para selebritis. Untuk model pakaian tertentu, bahkan, amat mungkin menggugah libido seks. Pembawa acaranya pun kaum artis dan selebritis yang membuat decak kagum. Musik, iklan, makanan, media cetak, film (dokumenter)—dilibatkan baik sekarang maupun setelahnya.

Dengan demikian, lengkaplah sudah, sebagaimana perhelatan pernikahan selebritis di manapun, hajatan Raffi-Gigi tidak steril dari kuasa media, bahkan didesain sedemikian untuk menguatkan kuasa media di mata publik. Karena pernikahan ini berada dalam kuasa media, layak ditunggu, apakah media akan mampu menopang kelanggengan cinta—dan kisah dalam dongeng—Raffi-Gigi juga?***

Sumber ilustrasi: http://b14.cumicumi.com/news/read/74391/gaya-raffi-jadi-tren. (Terima kasih)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline