Lihat ke Halaman Asli

Unesa Sebagai Pusat Literasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14183478252051416251

[caption id="attachment_340808" align="aligncenter" width="448" caption="Suasana seminar literasi, tonggak komitmen yang menyejarah"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Universitas Negeri Surabaya (Unesa) telah berkomitmen menjadi pusat (kajian) literasi nasional, dengan rencana dan rintisan program ke dalam dan keluar. Diyakiini, dengan komitmen yang kokoh, impian mewujudkan masyarakat kampus dan masyarakat umum yang literat berpeluang tercapai.

Komitmen berliterasi ini ditegaskan oleh rektor baru Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S., setelah menangkap ghirah pemikiran dan jejak para pegiat literasi yang juga alumni Unesa. Rektor yang suka menulis ini menyambut hangat berbagai masukan alumni, baik yang berkembang di milis keluarga Unesa maupun yang tertuang di dalam buku.

Memang, gagasan Unesa sebagai pusat literasi, semula berkembang lewat mailing-list (milis) oleh sejumlah alumni dan dosen yang aktif di sana, semisal Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela (Direktur PPPG Unesa), Pratiwi Retnaningdyah (dosen, kandidat doktor), Satria Dharma (Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia), Sirikit Syah (Direktur School of Writing),  Much. Khoiri (Pendiri Jaringan Literasi Indonesia), Habe Arifin (jurnalis), Eko Prasetyo (penulis produktif), dan masih banyak lagi. Gagasan  ini semakin menguat seiring bergulirnya waktu.

Tonggak penting Unesa sebagai pusat literasi dicanangkan pada Juni 2014 dengan deklarasi “PPPG sebagai Penggerak Literasi Unesa” oleh direktur PPPG Unesa Prof. Dr. Luthfiyah Nurlaela M.Pd, dan pendatanganan prasasti dilengkapi oleh para narasumber, yakni Sirikit Syah,  Much. Khoiri, Satria Dharma, dan Achmad Wahju. Tanda tangan itu simbol kepedulian dan komitmen untuk membudayakan literasi di Indonesia.

Tak lama setelah deklarasi itu, kini pelatihan dan pendampingan menulis fiksi dan nonfiksi telah berjalan untuk calon guru dari unsur SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Menurut direktur, program ini bisa jadi merupakan pilot project untuk pembudayaan literasi bagi seluruh warga Unesa khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Keyakinan semacam itu telah mengental sejak para penggagas menerbitkan buku Pena Alumni: Membangun Unesa melalui Budaya Literasi (ed. Eko Prasetyo, Desember 2013). Buku ini memuat gagasan dan pemikiran berkisar tentang pentingnya membangun budaya literasi, yang dimulai dari Unesa. Diantaranya artikel (alm) Rukin Firda “Menulis sebagai Strategi Image Building Unesa”, Much. Khoiri “Membangun Literasi, Dari Unesa untuk Semua”, Luthfiyah Nurlaela “Literasi, Pemodelan, dan Konsekwensi”, Sirikit Syah “Writerpreneurship, Cara Lain Membangun Unesa”, dan Lies Amin Lestari “Memupuk Literasi di Unesa.” Masih ada belasan artikel lain, yang menguatkan betapa Unesa urgen menjadi pusat literasi.

Untuk melebarkan kepak sayapnya, sebuah buku literasi telah disusulkan oleh trio editor Eko Prasetyo, Much. Khoiri dan Suhartoko dengan buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku (Mei 2014). Buku yang ditulis 16 laskar literasi ini telah mendukung dideklarasikannya PPPG sebagai penggerak literasi, di samping deklarasi sebelumnya yang bertajuk ‘Jatim sebagai Pusat Gerakan Literasi Nasional’. Buku ini telah dibedah di beberapa forum, di antaranya di MEP Training Center, Jombang beberapa waktu lalu.

Siapkan Implementasi

Komitmen untuk menjadikan Unesa sebagai pusat literasi kini sedang dalam proses perintisan, termasuk persiapan menyeluruh yang bakal dijalankan dalam tahun-tahun ke depan. Kini program pelatihan dan pendampingan menulis bagi mahasiswa SM-3T menjadi rintisan permulaan yang baik.

“Kami mengapresiasi teman-teman yang telah mencurahkan pemikiran untuk mewujudkan gagasan ini. Namun, kita harus mempersiapkan segala sesuatu untuk implementasi yang baik,” kata rektor, meyakinkan. Implementasi, lanjutnya, membutuhkan kesiapan tenaga, pikiran, dana yang tidak sedikit—sebuah harga yang layak dibayarkan.

Berbagai gagasan, baik dari dua buku di atas, maupun dari milis dan seminar literasi di Unesa, bisa dikerucutkan menjadi dua arus besar. Pertama, Unesa berperan sebagai pusat kajian literasi. Di sini Unesa akan tampil sebagai institusi yang mendalami dan mengembangkan literasi dari ranah konseptual dan teoretik, lewat berbagai penelitian, diskusi, seminar, dan sebagainya.

Kedua, Unesa juga berperan sebagai pusat gerakan literasi. Dalam konteks ini, Unesa akan membudayakan literasi secara internal terlebih dahulu, termasuk membudayakan membaca-menulis bagi dosen, mahasiswa, dan (jika perlu) karyawan. Program-program dengan target capaian terukur sedang dimatangkan, agar ketercapaiannya memuaskan. Ibaratnya, warga Unesa harus mendidik diri sebelum melancarkan gerakan pembudayaan literasi bagi masyarakat luas. Prinsip keteladanan ini diharapkan bisa mempercepat terwujudnya impian literasi.

Tentu saja, Unesa sedang dan akan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang gerakan pembudayaan literasi. Yang terkini, Pemkot Surabaya sedang sosialisasi “Surabaya sebagai Kota Literasi” ke seluruh kepala sekolah dan kepala perpustakaan se-Surabaya. Dalam rencananya, Unesa akan berkolaborasi dengan program ini.

Optimistis

Warga Unesa optimistis dengan kehadirannya sebagai pusat literasi. Di samping komitmen pimpinan, rintisan dan karya para pegiat literasi selama ini, dukungan warga Unesa semakin menguat. Saat pisah-kenal rektor belum lama ini, ada pemberian hadiah buku yang ditulis oleh rektor dan oleh para dosen untuk rektor. Sebuah tradisi baru yang patut dilanjutkan.

Optimisme itu juga menguat tatkala menjelang Dies Natalis 2014 pada Desember ini digelar berbagai kegiatan akademik dan seminar, di antaranya yang digelar Fakultas Bahasa dan Seni Unesa, dengan Seminar Nasional Plus "Membangun Peradaban Generasi Emas melalui Literasi", pada hari Minggu, 19 Oktober 2014. Dari seminar ini akan diperoleh gagasan-gagasan baru dan brilian untuk membangun budaya literasi.

Sejauh itu, semua itu bergantung pada itikad dan spirit dari seluruh warga Unesa. Ibaratnya, yang penting bukan semata gagasannya, bukan pula manusia di balik gagasan, melainkan spirit dan itikad manusia di balik gagasan itu. Mudah-mudahan spirit dan itikad warga Unesa terus mengokoh untuk mewujudkan impian menjadi kampus pusat literasi.***

Catatan: Artikel ini telah dimuat di majalah pendidikan Menebar Energi Positif (MeP). Ditayangkan di sini semana untuk menambah keluasan keterbacaan. Terima kasih banyak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline