Lihat ke Halaman Asli

Safari (Buku) Puisi “Memo untuk Presiden”

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418579908294752146

[caption id="attachment_341304" align="alignnone" width="640" caption="Inilah buku puisi itu dan latar salah satu puisi saya yang termuat di dalamnya"][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Kumpulan puisi penyair Indonesia bertajuk Memo untuk Presiden (Oktober 2014), besutan penyair kondang Sosiawan Leak, telah di-launching pertama kali di Istana Gebang di kota Blitar, Jawa Timur (rumah kediaman keluarga Bung Karno) dan rumah budaya Kalimasada, 1-2 November silam. Gerbong safari launching akan bergerak ke berbagai penjuru negeri.

Buku yang disusun dari ratusan puisi oleh 169 penyair terseleksi (dari 218 kontributor) ini bakal di-launching di Kotabaru-Kalimantan Selatan pada 9-10 Januari 2015, dengan koordinator Helwatin Najwa. Disusul kemudian launching di Malang 7 Februari 2015 dengan koordinator Denny Mizhar, dan di Jember 8—9 Februari 2015 dengan koordinator Barlean Aji.

Tak mau kalah, Dyah Kencono Puspito Dewi akan mengoordinatori acara yang sama di Jakarta pada Maret 2015, kemudian Bambang Widyatmoko di Yogyakarta pada Maret 2015 dan RD Kedum di Lubuklinggau (Sumsel) pada April 2015. Tampaknya, daftar antrian akan bertambah panjang saja seiring dengan waktu.

Tentu, saya merasa bangga menjadi salah satu kontributor untuk buku ini. Dua puisi saya yang dipajang bertajuk “Di Antara Kita Ada Dinding” dan “Bagaimana Kami Harus Percaya Padamu.” Bangga karena, bersama banyak penyair, saya ikut menyuarakan aspirasi masyarakat dan suara zaman, terlebih semua ini dirajut dalam memo untuk presiden.

Sosiawan Leak, sang kurator puisi yang begitu gigih mengumpulkan ratusan puisi, menyeleksi, menarik iuran, menerbitkan, hingga mendistribusikan kepada para penyair, menulis di kata pengantarnya: “Puisi sebagai anak kandung kebudayaan pada dasarnya dapat berperan sebagai pengingat dan pengugah jiwa kehidupan berdasarkan fakta kebenaran serta nurani kejujuran.

Penyair, lanjut Leak, sebagai individu yang berkarya di dalam jaman—baik sebagai saksi maupun agen perubahan—terbukti mampu melahirkan gagasan secara jernih untuk menangkap suara rakyat, suara jaman, dan suara kebenaran. Dengan mempresentasikan gagasan tersebut lewat penerbitan, mendistribusikan dan menyosialisasikannya secara luas, puisi bisa berfungsi sebagai penjaga moral bagi semua yang terlibat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Buku puisi setebal 476 halaman ini akan menemukan takdirnya, bersafari dari kota satu ke kota lain, menyapa berbagai kalangan, bukan hanya penyair yang menyumbangkan puisi bagi buku ini, melainkan juga para penyair daerah dan khalayak pencinta sastra. Bahkan, dengan penyebaran yang lebih luas, keterbacaan buku ini sangat boleh jadi akan tak terbatas.

Sampai detik ini buku ini sudah disasarkan ke berbagai lembaga yang berkepentingan. Jika safari ke berbagai daerah bisa dihelat secara sukses, probabilitas meningkatnya keterbacaan buku ini adalah sebuah keniscayaan yang tak terelakkan. Benar, ini hanya sebuah buku puisi, namun jumlah penyair yang menuliskan puisi mereka di sini—tidaklah mudah dianggap main-main. Mereka, sebaliknya, sangat serius dan perlu ditanggapi secara serius pula.

Terbukti, animo para koordinator untuk menghelat launching buku di kota mereka masing-masing menunjukkan hasrat besar untuk menyosialisasikan aspirasi buku ini kepada masyarakat. Bahkan, mereka seakan mengajak publik untuk menyokongkan berbagai gagasan lain untuk melengkapi dan menyempurnakan buku itu.

Tak dimungkiri, di berbagai penjuru negeri ini berkembang berbagai komunitas pecinta sastra—tak peduli seberapa besar ghirah dan produktivitas kulturalnya. Mereka pastilah ingin mendapatkan gesekan dari karya-karya lain yang membuatnya saling asah-asuh dan memperkaya kreativitas. Dialog kultural sangat bermanfaat bagi mereka. Karena itu, kehadiran launching buku akan memberikan pemicu (trigger) bagi kegairahan berkreativitas.

Seandainya safari launching di seluruh daerah para penyair penyumbang puisi untuk buku ini, alangkah dahsyatnya program literasi sastra yang dijalankan. Mereka, secara tak langsung, mengajak masyarakat untuk melek sastra—untuk membaca karya sastra (dalam hal ini puisi) dan sekaligus menulisnya. Bukan tidak mungkin, impian untuk membuat masyarakat melek sastra akan terwujud. Impian melek sastra ini, bagaimanapun juga, sudah diidam-idamkan banyak pihak untuk ikut mengentaskan bangsa ini dari kiamat literasi.

Sebagaimana penerbitan buku ini yang “independen, nirlaba, berdasarkan kemandirian individu namun tetap menjunjung tinggi azas kebersamaan” (begitu tulis Leak), maka kegiatan safari diharapkan tetap konsisten dengan komitmen awal: Kegiatan ini harus tetap mandiri dan lepas dari campur tangan pihak-pihak tertentu yang sengaja atau tak sengaja memanfaatkannya untuk kepentingan sesaat.

Akhirnya, saya mengamini doa dan harapan sang kurator puisi Sosiawan Leak berikut ini: “Semoga gagasan baik yang diramu dengan upaya keras dan mandiri oleh berbagai pihak ini bermuara kepada kebajikan hubungan antara rakyat dan negara, hingga terciptanya harmoni.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline