[caption id="attachment_344974" align="alignnone" width="640" caption="Berpose dengan para penyair dan penulis Sumenep seusai peluncuran dan bedah buku"][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Bahagia rasanya saya berkesempatan berbagi tentang puisi, HAM, safari puisi, dan menulis. Selaku narasumber dalam peluncuran dan bedah buku puisi Titik Temu (Kampoeng Jerami, 2014), di gedung RRI Sumenep (4/1), dimoderatori Tika Suhartatik, serta Fendi Kachonk, saya berbagi dengan puluhan penyair, penulis, seniman, mahasiswa—seruangan penuh.
Mengapa bahagia? Pertama, topiknya menarik dan tak pernah habis dibincang. Kedua, peserta bedah buku begitu antusias, tampak dari aura wajah mereka yang memancarkan keingintahuan yang menggelora. Ketiga, saya bersua dengan sahabat-sahabat lama seperti penyair Syaf Anton Wr., Dayat Raharjo, Mahendra, dan Agus Keceng. Keempat, saya bersua dengan para penyair muda berbakat yang (entah dari mana) juga mengenal saya.
Lebih dari semua itu, topiknya melekat dengan saya dan semua hadirin. Yakni, tentang puisi, HAM, safari puisi dan menulis. Yang mendasar, saya tegaskan, bahwa puisi dan HAM tidak bisa dipisahkan sama sekali. Keduanga laksan pisau bermata dua. Puisi bicara tentang manusia, HAM juga demikian. Pertemuan keduanya terletak pada humanity (kemanusiaan, humaniora).
Meski keduanya bersua pada satu titik temu, yakni humanity, puisi bisa bertindak sebagai sarana dan HAM sebagai entitas hak-hak yang memantulkan jati-diri manusia. Bagaimanapun, HAM itu perlu pengakuan, dan untuk sebuah pengakuan itu perlu ada perjuangan. Sementara itu, perjuangan pastilah memerlukan sarana atau alat perjuangan.
Perjuangan untuk pengakuan HAM, tentu, ada yang keras, vulgar dan demonstratif serta massif; ada pula perjuangan yang lembut, halus, santun dan diam-diam serta sporadis. Untuk gerakan sosial, yang demonstratif lazimnya lebih efektif, sedangkan untuk gerakan budaya, yang diam-diam dan sporadis bisa mengandung kekuatan laten.
Pada kondisi inilah puisi, termasuk yang terantologi dalam buku Titik Temu ini, hakikatnya merupakan sarana untuk memperjuangkan pengakuan HAM, secara diam dan laten. Puisi itu produk budaya, dan karena itu menjadi alat perjuangan pengakuan yang tidak demonstratif namun mengena. Pada titik inilah puisi hanya lebih berfungsi untuk menunjukkan dan menguatkan jatidiri.
Meski demikian, ketika puisi dibawa ke ranah rekayasa oleh pemegang otoritas dan kuasa, puisi akan berfungsi lebih dahsyat—yakni untuk menunjukkan eksistensi. Dengan demikian, jika puisi dipolitiskan, atau secara masif dimainkan oleh pihak otoritas, eksistensi warga dan HAM yang melekatinya akan terangkat dengan sendirinya. Ada pemberdayaan (empowering) di sana.
Puisi yang berjumlah sedikit, hanya ditulis dan dibaca sendiri di lingkungan terbatas, pastilah tidak banyak dampak signifikan. Namun, jika ada banyak puisi dibacakan di berbagai forum, bukunya dikirimkan ke para pemegang otoritas, dan didukung oleh berbagai komunitas, janganlah anggap remeh dampaknya. Dalam posisi ini puisi bisa melebihi tajamnya pisau, cepatnya lesatan mesiu, dan dahsyatnya ledakan bom.
Buku puisi Titik Temu ini merangkum karya-karya 60 penyair Indonesia—bahkan ada yang senior seperti Acep Zamzam Noor, Jamal D. Rahman, Korrie Layun Rampan, Siti Noor Laila, Syaf Anton Wr., Tengsoe Tjahjono, dan sebagainya. Kebanyakan adalah penyair muda yang sangat produktif di bidangnya. Nah, semua puisi ini, tatkala hanya dibaca di ruangan bedah buku, lebih berfungsi penegas jatidiri ketimbang sebagai penegas eksistensi.
Safari Puisi dan Menulis
Untuk menunjukkan eksistensi perjuangan para penyair, terkait dengan HAM, lewat buku puisi Titik Temu, maka tiada pilihan lain: Buku itu harus dipermaklumkan, dipublikasikan, agar pejabat dan masyarakat lebih mendapat informasi (get informed) benar. Bukankah kesadaran yang benar harus tumbuh dari informasi yang benar?
Salah satu strategi penting adalah safari buku puisi. Ya, buku itu harus disafari-puisikan di berbagai kota dan daerah. Di sana ada dialog dan berbagi. Di sana disuarakan dengan hati yang jernih. Relung-relung ruang sosial masyarakat akan dibuat penuh oleh aspirasi-aspirasi yang tertuang di dalam buku puisi—yang juga dibacakan di depan publik, serta disampaikan kepada para pemegang otoritas.
Meski safari buku semacam itu cukup konvensional, toh masyarakat masih menerimanya sebagai sesuatu yang penting. Lagi pula, strategi ini masih kerap dimanfaatkan oleh para penerbit buku ketika sebuah buku selesai turun cetak, untuk segera dipamerkan kepada publik. Semakin banyak titik simpul untuk Titik Temu, semakin besar pula buku ini dibaca masyarakat dan menyentuh titik kesadaran mereka.
Di samping itu, menulis adalah keharusan dan keniscayaan. Menulis di sini adalah menulis untuk mengabarkan dan menegaskan kualitas buku tersebut kepada masyarakat lewat karya tulis. Menulis bisa membahas tentang proses menulis buku, para penyair yang berkualitas, dampak puisi bagi kehidupan, dan sebagainya. Analisis buku, resensi buku, dan bedah buku hanya contoh kecil dari menulis tentang buku itu.
Intinya, menulis di sini berfungsi sebagai sarana untuk mempromosikan buku puisi tersebut. Inilah salah satu jurus jitu mengedifikasi penyair dan buku (mengangkat karya atau penulis lain melalui karya seseorang). Sesama penulis harus saling mengedifikasi, saling mengangkat. Dalam konteks inilah tulisan-tulisan yang ada bisa mengedifikasi para penulis dalam buku tersebut.
Dengan demikian, perjuangan untuk pengakuan HAM lewat buku puisi memang bergerak melalui jalur yang serius. Selain karya yang berkualitas—termasuk kental dalam menyuarakan isu-isu HAM—yang memantulkan jatidiri penyair, buku puisi seyogianya disafarikan kepada pihak-pihak yang berwenang, agar pengakuan akan makin kuat di kemudian hari.**
Surabaya, 5-1-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H