Lihat ke Halaman Asli

Sepatah Kata Penyelaras untuk Novel “Endang”

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14222030841019511005

[caption id="attachment_348016" align="alignnone" width="640" caption="Saat launching novel "][/caption]

Oleh MUCH. KHOIRI

Keberanian—tepatnya kenekatan—saya untuk mencermati naskah novel ini sejak awal muncul berkat desakan Mama Thea—begitu saya biasa menyapa Thea S. Kusumo—agar saya kritis dan jujur. Beliau melarang saya untuk hanya mengiyakan novel ini. Jika ada kekurangan sana-sini, meski pahit rasanya, harus disampaikan.

Karena itu, saya nekat berdiri sebagai mitra yang kebetulan mengampu matakuliah Menulis Kreatif (creative writing), yang menghadapi naskah yang ditulis oleh sang guru. Jika sepanjang penggarapan novel ini beliau sering menyatakan “kebo nyusu gudel” (kerbau menyusu anaknya), saya tetap berpandangan bahwa kerbau tetaplah kerbau dan gudel tetaplah gudel. Kebetulan saja gaya lenguhannya berbeda.

Sejak naskah pertama Endang saya nikmati, saya teringat buku beliau sebelumnya Jalan yang Telah Kulalui (2013). Gaya pengucapannya sama: khas penulisan memoar yang penuh rangkaian narasi. Adegan demi adegan, peristiwa demi peristiwa, ditata secara kronologis dan teratur—kadang terasa monoton—yang semestinya bisa dihidupkan dengan hadirnya berbagai adegan dan peristiwa lain sebagai pendukung. Kesan semacam ini muncul juga dalam naskah awal novel ini.

Dengan nekat, saya sarankan agar beliau mengemas lebih sastrawi. Saya melihat, novel Endang, sebagaimana tulisan fiksi lain, seharusnya juga terikat pada bentuk sastrawi. Bahkan isi dan bentuk itu tak bisa dipisahkan, saling mengisi dan saling melengkapi. Ada semacam kaidah bentuk (pengucapan) yang perlu dipenuhi untuk mengemas sebuah novel yang berterima. Karena bentuk terikat estetika, pengabaian terhadap kaidahnya bisa mengganggu keselarasan di dalamnya.

Karena itu, terhadap naskah pertama dan kedua, saya sempatkan sowan beliau di rumah, dengan sambutan hangatnya. Tentu, sambil kangen-kangenan. Kami mendiskusikan penokohan, setting, tema, dan unsur-unsur intrinsik lain—termasuk aspirasi (voice) yang hendak disuarakan lewat novel ini, yakni perjuangan dan kehebatan seorang perempuan yang mengorbankan apa saja untuk memberi anak-anaknya masa depan lebih baik. Bahkan, kami juga membahas hal-hal penggunaan bahasa dan tata tulis. Namun, untuk merevisinya, saya tidak melakukan apapun jua—itu sepenuhnya wewenang atau hak prerogatif beliau.

Tak dimungkiri, semangat beliau pilih tanding. Meski masih diselingi tindakan ke Jakarta atau kota lain, untuk memperkaya wawasan terkait novel ini, di samping meminta masukan pakar Sejarah, beliau mampu merevisi naskah dalam waktu cukup singkat. Maka, tibalah saatnya saya berhadapan dengan naskah edisi ketiga—dan beliau memberi saya izin untuk melakukan penyelarasan sana-sini jika diperlukan.

Pada titik inilah sebenarnya isi novel ini sudah selesai. Ibarat bangunan rumah, ia sudah selesai didirikan—pondasi, tembok, pintu, jendela, atap, dan furniturnya sudah ada. Novel ini juga sudah mengandung unsur-unsur intrinsik dan ekstriksik yang jelas. Karena itu, saya tinggal memeriksa terakhir kali apakah unsur-unsur bangunan (novel) yang ada telah mewadahi secara estetik aspirasi yang hendak disampaikan.

Praktisnya, atas izin beliau saya hanya melakukan penyelarasan serba sedikit—mengatur pemagrafan yang terlalu panjang, menyisipkan detil suasana atau deskripsi, menyarankan diksi yang pas, menyunting tata-bahasa dan tata-tulis, dan hal-hal remeh semacam itu. Setelah itu pun, naskah final saya kirimkan kembali kepada beliau untuk diperiksa terakhir kali sebelum masuk ke proses layouting. Saya berharap, semua ini tidak menodai ars poetica beliau.

Dengan demikian, bisa dikatakan, terhadap novel ini, saya hampir tidak melakukan apa-apa, kecuali hanya sedikit. Saya hanya sedikit menyelaraskan; selebihnya adalah hak milik beliau sepenuhnya. Itulah hak menyuarakan kepahlawanan perempuan di antara kisah hidup penuh dilema. Di sana pulalah pertanggungjawaban saya sebagai penyelaras naskah novel saya labuhkan.*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline