Secara definitif, banyak beredar arti kata jancuk di berbagai referensi dan media online. Yang paling umum, kata jancuk berasal dari kata "diencuk -- diancuk -- jancuk", yaitu persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, tidak semua masyarakat Surabaya mengetahui tentang definisi tersebut. Jancuk hanya dipahami dalam dua makna yang berbeda, persis seperti yang dilansir oleh wikipedia.
Ensiklopedia bebas itu memaknai kata jancuk (ada yang bilang dancok) atau disingkat menjadi cok (juga ditulis jancuk atau cuk, ancok atau ancuk, dan coeg) adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di Jawa Timur, terutama Surabaya dan sekitarnya.
Meskipun memiliki konotasi buruk, kata jancuk menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman serta untuk meningkatkan rasa kebersamaan.
Kata jancuk menjadi diskursus di masyarakat ketika capres nomor 01 Joko Widodo diberi gelar "Cak Jokowi" oleh masyarakat Jawa Timur saat deklarasi alumni perguruan tinggi, SMA/SMK, dan relawan masyarakat se-Jawa Timur dalam Forum Alumni Jatim di Tuguh Pahlawan Surabaya pada Sabtu, 2 Februari 2019 lalu.
Namun pasca pemberian gelar itu, seorang pembawa acara kemudian memberikan julukan pada Jokowi dengan sebutan "Cak Jancuk". Tentu saja pada momen itu, julukan dengan embel-embel jancuk digunakan sebagai simbol kedekatan dan keakraban antara Jokowi dan masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Namun, inilah yang kemudian menjadi ramai diperbincangkan di media dan masyarakat.
Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki tiga unsur pemaknaan sebagaimana yang ditawarkan Roland Barthes, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Denotasi merupakan pemaknaan primer. Sedangkan konotasi sebagai pemaknaan sekunder. Pada tingkat pemaknaan sekunder inilah mitos itu dihasilkan dan tersedia. Melalui mitos, ideologi yang dipahami sebagai sekumpulan gagasan dan praktik yang mempertahankan, secara aktif mempromosikan berbagai nilai dan kepentingan kelompok dominan di masyarakat (Storey, 2010)
Pada unsur denotasi, kata jancuk dimaknai sebagai sebuah aktivitas persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan secara konotatif, kata jancuk terbelah menjadi dua makna yang kontradiktif.
Di satu sisi makna jancuk adalah sebuah ungkapan kotor yang biasa digunakan untuk mengumpat atau memaki orang yang dibenci ketika sedang marah. Sedangkan makna konotasi yang lain adalah bentuk keakraban antarsesama teman dekat. Misalnya, "Yo opo kabare cuk, suwe ga ketemu!"
Kendati demikian, pemaknaan jancuk sebagai ungkapan kotor masih banyak diyakini masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Terutama dalam keluarga, sekolah, pesantren, apalagi di tempat-tempat ibadah.
Nyaris semua orang tua tidak akan memperbolehkan anaknya mungucapkan kata jancuk di rumahnya. Bahkan sekalipun kata jancuk digunakan sebagai percakapan informal oleh para siswa, nyaris semua lembaga pendidikan tak pernah mengizinkan muridnya untuk mengeluarkan kata tersebut.