Lihat ke Halaman Asli

Menangkap Senja dari Kuala Kencana Papua

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

haul truk

Roda-roda karet dengan diameter 4 meter itu sudah 8 tahun bersahabat denganku. Aku salah satu pengemudi haul truk di sebuah perusahaan asing penambang emas di Timika, Papua. Setiap hari aku menekan pedal-pedal gas, rem, dan kopling haul truk ini di lokasi site Grassberg, Papua. Tram gantung raksasa dan crane berukuran jumbo diatas tanah gersang yang keras berwarna putih abu-abu adalah pemandangan yang kulihat setiap hari. Hari ini aku beruntung tugasku hanya mengantarkan haul truk ku ke Megashop, pusat bengkel haul truk di Grassberg. Sudah saat nya mengganti ban-ban haul truk ku ini dengan yang baru. Harga satu ban nya mungkin seharga satu mobil MPV keluarga. Biasanya aku harus hilir mudik di area site mengantarkan bongkahan batuan hasil tambang yang bisa mencapai 400 ton ke pabrik pengolahan. Aku menengok jam ku, sebentar lagi waktu shift kerjaku habis sudah hampir 10 jam aku berada di site.

“Hai Parjo baik-baik kan?, kapan kau ambil cuti mu heeee…?” Kepala divisiku menyapa ketika tidak sengaja bertemu di tram gantung. Saat itu aku hendak balik ke asrama driver di Kuala Kencana.

“Waduh, baik sekali bapak mau mengingatkan jatah cuti ku” Aku tersenyum padanya

“Ini sudah masuk akhir tahun. Tinggal 4 orang ini, termasuk kau yang belum mengambil cutimu. Janganlah kau kerja di site terus… bisa gila kau” Beliau mengingatkan aku lagi dengan logat batak yang kental

Aku kembali tersenyum lagi, “Baik lah pak, nanti akan segera aku urus cutiku di kantor”

“Baiklah, aku tunggu janji kau, minggu ini kau datang ke kantor….” Ucapnya ketika kami sudah sampai di Shelter.

***

Dingin mulai kurasakan di shelter, tempat aku dan kawan-kawan yang lain akan diantar oleh bis perusahaan ke Kuala Kencana. Bis besar warna kuning yang menuruni bukit di pegunungan Grassberg ini sudah hampir penuh oleh pekerja yang juga akan ke Kuala Kencana. Sebetulnya sangat menyenangkan menikmati pemandangan indah dari sini, hanya saja lelah dan capek, membuatku memilih untuk tidur di salah satu bangku bis ini. Pekerjaanku tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, aku juga dituntut untuk konsentrasi mengendalikan truk yang super besar di tengah lapisan oksigen yang tipis. Waktu shift kerja yang dijatah 10 jam per hari sudah cukup menguras seluruh energi ku, mungkin juga karena  aku sudah tidak muda lagi.

Biasanya jika shift kerjaku selesai pada sore hari seperti ini, aku tidak langsung kembali ke asrama tapi ke kantin dulu mengambil makan siangku, pergi ke bukit sinyal, dan menyantap makananku di sana. Disebut bukit sinyal karena dahulu ketika awal pembangunan kota Kuala Kencana1, hanya di bukit inilah orang dapat menangkap sinyal handphone. Tetapi sekarang sudah banyak pemancar baru dibangun sehingga jarang ada lokasi yang tak mendapat sinyal. Baru di bukit inilah aku bisa membuang penat dan merenung tentang hidupku. Bukit ini sangat indah. Dari sini aku bisa melihat kota Mimika yang sesak dan semrawut oleh pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Mengais rezeki dengan cara menjadi pekerja kontraktor pertambangan. Saat sore senja, lampu ruko dan rumah yang berdempetan di mimika mulai menyala membentuk titik-titik cahaya acak yang hampir tanpa makna. Aku masih beruntung mendapatkan fasilitas asrama di Kuala Kencana yang bersih dan teratur. Tata kota Kuala Kencana dibuat oleh insinyur-insinyur perusahaan, berbeda dengan Mimika yang semrawut dan kotor. Di titik ini aku masih merasa bersyukur akan hidupku.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline