Lihat ke Halaman Asli

Anak Sekecil itu Nalarnya Sudah Berproses

Diperbarui: 9 Mei 2016   17:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di suatu hari, tepatnya di suatu malam minggu di awal bulan Mei dalam suasana liburan panjang, saya dan istri saya menempuh perjalanan pulang dari Tangerang ke Jakarta di atas moda angkutan bus Agramas jurusan Tangerang-Cikarang.  Waktu itu kondisi lalu lintas padat merayap dan kami berdua sangat ngantuk karena kelelahan.

Berangkat dari Tangerang  saya dan istri saya duduk di bangku dua sebelah kiri, baris ketiga dari depan. Saya duduk di sebelah kanan istri saya. Dipisahkan oleh lorong jalan, di sebelah kanan saya duduklah ibu muda dan anak lelakinya. Persis di sebelah kanan saya duduklah ibu muda itu dan di sebelah kanannya duduklah anaknya.

Tak lama sesudah duduk anak lelakinya mulai menyanyi pelan dan akhirnya agak keras sedikit. Lagu demi lahu ia nyanyikan, di antaranya lagu pelangi, burung kakatua, balonku, dan lain-lain dan pada saat selesai menyanyikan lagu cicak di dinding terjadi dialog antara anak itu dan ibunya. 

    Sang anak:    Hap lalu ditangkap. (penggalan syair lagu cicak di dinding)
                          Nyamuknya dimakan cicak, ya mah?
    Ibunya:          Iya. Biar nyamuknya tidak menggigit adik.
    Sang anak:    Mah, biar rumah kita tidak ada nyamuknya, kita banyakin saja cicaknya.
    Ibunya:          Kalau cicaknya dibanyakin, nggak baik juga.
                          (Berikutnya terjadi penawaran dari sang anak)
    Sang anak:    Kalau begitu nggak usah banyak, mah ya?
                          Kalau begitu bagaimana kalau lima saja?
    Ibunya:          Iya. Iya.
                          (Anaknya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda lelah dan ngantuk)

Setelah anak itu tidak nyanyi lagi, dialog beralih antara saya dan ibunya (yang mewakili anaknya).

    Saya:        Koq, nyanyinya sudahan?
    Ibunya:     Iya, baterinya sudah mulai lemah. (Baca: si anak sudah mulai lelah)
    Saya:        Nyanyinya sudah lancar dan artikulasinya sudah jelas.
                    Sekarang sudah duduk di kelas berapa?
    Ibunya:     Baru duduk di kelas nol besar.
    Saya:        Oh! Di kelas nol besar? Sebentar lagi naik ke kelas satu SD, dong?
    Ibunya:     Iya. Insya Allah tahun ini akan didaftarkan ke kelas satu SD.

Dari dialog antara saya dan ibunya, saya baru tahu kalau anak tersebut baru duduk di kelas nol besar. Alangkah terkejutnya saya mengetahui hal itu. Anak kelas nol besar nalarnya sudah mulai berproses.

Sementara itu sang anak sudah mulai ngantuk berat, ibunya mulai mengendong dan memeluknya. Tidurlah anak itu di atas pangkuan ibunya dalam perjalanan di atas bus Agramas yang sedang menuju Jakarta. Menjelang sampai lampu merah Pasar Rebo, anak itu dibangunkan. Dibelikanlah dia kacang goreng bungkus plastik dari pedagang asongan. Sesampainya di lampu merah Pasar Rebo mereka berdua, ibu muda dan anaknya turun. Sampai di sini saya tak tahu ke mana keduanya akan melanjutkan perjalanan.

Sementara banyak pihak mengeluhkan bahwa anak-anak kita belajarnya lebih banyak pada kemampuan berpikir tingkat rendah. Seperti apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen: “Orientasi pembelajaran yang dijalankan sebatas mengoptimalkan kemampuan berpikir tingkat rendah. Pikiran para murid setiap hari dijejali oleh beragam data pengetahuan yang—entah berguna atau tidak—dihafal dan diuji di kemudian hari. Sedikit sekali para pelajar dilibatkan dalam proses berpikir tingkat tinggi, seperti menalar, menganalisis, dan memecahkan masalah yang konon sebagai salah satu kecakapan utama yang dibutuhkan untuk hidup dan suskses di abad ke-21.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016, hal. 6) Pendiri startup Seekmi Nayoko Wicaksono yang pernah menempuh pendidikan di University of British Columbia, Kanada menuturkan: “Pendidikan di Indonesia, banyak yang lebih ke memorizing, tetapi tidak terlalu mengerti tentang hal-hal yang dipelajari. Efeknya, pengetahuan pun kurang mendalam.” (Kompas, Senin, 2 Mei 2016)

Saya tertarik dan ingin berkomentar atas kejadian dialog antara ibu muda dan anaknya. Bila kita kaitkan apa yang diutarakan anak dalam dialog tersebut di atas dan dua cuplikan di atas yang sudah kita baca rasanya ada suatu kontradiksi. Anak itu saat ini baru duduk di kelas nol besar tetapi mengapa nalarnya sudah nampak dan berproses? Apakah nanti setelah duduk di bangku SD dan seterusnya nalar anak tersebut sengaja ditumpulkan sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Mohammad Abduhzen? Seandainya nalar anak itu diasah mulai di bangku SD—dan tidak dengan sengaja ditumpulkan—saya yakin nalar anak ini akan menjadi tajam. Dan inilah generasi yang kita idamkan.

EnglishKita.com 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline