Lihat ke Halaman Asli

JIS (Jeratan Iklim Seksualitas) di JIS

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Pendidikan yang sebenarnya adalah arsitektur jiwa”, ungkapan reflektif seorang ahli pendidikan dari Amerika.

“Habis gelap terbitlah terang”, R.A Kartini meninggalkan pesan optimisme dan heroik.

Pendidikan adalah hiasan dalam kemakmuran dan tempat perlindungan dalam kesulitan”, pendapat Aristotle.

"Ini adalah sekelumit refleksi fenomena kekerasan seksual dunia pendidikan kita..."

Lagi-lagi Kasus kejahatan seksual merundung pilu wajah dunia pendidikan kita akhir-akhir ini. Belum sirna dari ingatan, kasus pencabulan yang dilakukan oknum guru beberapa waktu lalu. Kekerasan fisik pun seolah terus terjadi dari waktu ke waktu hanya demi alasan sebuah penghukuman “pembelajaran” agar murid taubat dari kenakalan pada usia transisinya. Kasus kejahatan seksual kali ini terjadi di lembaga pendidikan bonafit bertaraf internasional yang berlokasi di wilyah metropolitan yakni Jakarta. Bisa dipastikan output pendidikan di sekolah tersebut sangatlah berkualitas. Maklum dari labeling dan branding namanya saja JIS (Jakarta International School), terkesan mengisyaratkan bonafiditasnya dari semua sisi. Dan faktanya yang bersekolah di JIS dari latar belakang keluarga status ekonomi tinggi (kelompok berdiut). Tentu biayanya pasti mahal (bagi ukuran ekonomi lemah kelompok miskin di indonesia). Apapun itu niatan masyarakat yang menyekolahkan putera-puterinya di tempat yang mahal, tujuannya pasti luhur dan mulya agar menjadi anak-anak yang berkepribadian berkualitas di masa depan.

Namun realitas paradoksal menyuguhkan sisi yang berbeda yang terjadi saat ini. Bahwa di sela proses berjalannya aktifitas pendidikan di JIS, terjadi kejahatan seksual yang menimpa anak didik di sekolah tersebut. Dan ini adalah anak Indonesia tunas bangsa masa depan negeri ini. Yang diduga dilakukan oleh oknum pegawai di lembaga pendidikan tersebut. Beragam analisis kritis dari berbagai kalangan ramai menghiasi ragam media. Para pakar pendidikan, pemerhati anak, para aktivis peduli mengecam, menghujat atas tindakan biadab yang tak bermartabat itu. Berbagai seruan tindakan tegas harus dilakukan segera oleh pihak yang berwenang. Mulai dari proses hukum kepada pelaku dan mengganjar nya dengan hukuman yang seberat-beratnya. Sampai pada tekanan agar JIS secara kelembagaan pun harus dipidana karena dipandang lalai dan abai atas keamanan dan kenyamanan anak didiknya. Pemerintah pun segera membekukan beroperasinya lembaga pendidikan ini karena disinyalir tidak memiliki izin operasional alias illegal.

Sekilas tentang JIS

Jakarta International School (JIS) adalah sebuah sekolah internasional swasta di Jakarta, Indonesia. Sekolah ini didirikan tahun 1951 untuk anak-anak ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan merupakan sekolah dasar dan menengah internasional terbesar di Indonesia. JIS memiliki 2.400 siswa berusia 3 sampai 18 tahun yang berasal dari 60 negara. Sekolah ini mengikuti model kurikulum Amerika Utara dari prasekolah sampai kelas 12. Sekolah ini diakreditasi oleh Western Association of Schools and Colleges dan Council of International Schools. Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan bahwa kurikulum Jakarta International School memiliki fokus internasional yang kuat dan menganggapnya sebagai salah satu sekolah terbaik di luar negeri untuk mempersiapkan siswa masuk universitas di Amerika Serikat. JIS memiliki tiga kampus, dua untuk SD di Pattimura dan Pondok Indah dan satu kampus utama untuk SMP dan SMA di Cilandak, Jakarta Selatan. Dan biaya pendidikan $30.000/tahun. (Baca: id.wikipedia.org/wiki/jakarta_international_school).

Dimana Peranan Negara?

Peranan apa yang dimainkan negara manakala melihat realitas keajadian seperti ini. Negara cendrung abai dan lalai melakukan kerja-kerja protektif terhadap warganya. Negara terkesan tidak melakukan upaya preventif dengan serius dan sungguh-sungguh dalam menjamin rasa aman dan nyaman sebelum kejadian kasus kekerasan. Terlebih lembaga pendidikan seharusnya sebagai tempat yang aman-bermartabat untuk tujuan melahirkan pribadi yang berkualitas dan bermartabat pula. Kita tidak pernah mampu belajar dari rentetan kejadian kekerasan sebelum-sebelumnya. Akhirnya pristiwa kekerasan dengan berbagai modusnya terulang kembali di lokus yang berbeda. Yang seolah-olah hanya menunggu giliran persoalan kekerasan akan muncul di lain waktu, kesempatan dan tempat.

Kedepannya negara tidak boleh menunggu kejadian memilukan kemudian baru bereaksi dan beralibi dengan berbagai argumentasi pembenaran atas polecy yang sudah dilakukan. Polecy (kebijakan) pemerintah sudah banyak diproduk dalam rangka penyelanggaraan pelayanan pendidikan terbaik untuk masyarakat. Tetapi pertanyaan publik muncul kemudian. Kalau memang sudah banyak regulasi yang dirumuskan, mengapa kekerasan demi kekerasan dengan berbagai bentuk dan modusnya tak kunjung usai? efektifkah regulasi itu? Sudahkah kebijakan-kebijakan itu terlaksana dengan baik? Sudahkah pemerintah melakukan sidak untuk mendata lembaga pendidikan yang beroperasi, baik yang sudah mengantongi izin atau tidak? Seberapa intens pemerintah melakukan evaluasi berkala untuk memastikan pelaksanaan proses belajar mengajar di lembaga-lembaga formil sesuai standar output dan outcome yang diharapkan?

Dan masih banyak pertanyaan reflektif dan kritis publik atas efektifitas peranan negara dalam mengurai dan menjawab persoalan-persoalan tersebut. Mungkin kalau tidak ada aduan dari orang tua murid persoalan ini pasti tak akan terendus dan tak akan menjadi polemik nasional yang menarik dibincangkan. Salam simpati kepada korban dan keluarganya atas derita yang dialaminya. Peristiwa besar yang menghebohkan ini harus mengilhami kita semua untuk memastikan tercapainya cita-cita pendidikan yang luhur dalam konteks berbangsa dan bernegara. Semoga kebijakan pengambil kebijakan (negara) menghasilkan kebajikan yang menjawab rasa aman publik di mana saja di negeri ini dalam cita-cita meretas kualitas generasi masa depan bangsa melalui dunia pendidikan.

Political will dan good will pemerintah sangat dinanti publik untuk mengurai persoalan akut negara ini. Semoga pristiwa kekerasan seksual di JIS, bukanlah pristiwa kekerasan seksual bagaigunung es. Dan ini menjadi kekerasan seksual terakhir melanda negeri ini terutama untuk dunia pendidikan kita. Hanya kebijakan proteksional berbasis pendekatan antisipatif dengan ragam terjemahannya di tingkat regulasi (polecy) yang berkualitas (berbobot) dan prospektif (jangka panjang) yang akan menghindarkan kita dari ancaman kekerasan yang bepotensi menjerembabkan dunia pendidikan kita ke ambang kebangkrutan dan kehancuran. Ingat, tantangan hari ini tidak seberat tantangan masa yang akan datang. Ahli hikmah mengingatkan; “Didiklah anak-anakmu dengan baik karena mereka hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”. Semoga.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline