Lihat ke Halaman Asli

Muaz

Dosen dan Penulis

Anak Usia TK Manasik Haji, Sebuah Refleksi

Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Entah siapa yang mulai dan sejak kapan praktek manasik haji diterapkan pada anak-anak usia TK. Fenomena ini tidak hanya dilakukan di Kabupaten Majalengka, namun kalau kita lihat hampir di seluruh wilayah Indonesia juga melakukan praktek serupa.

Seperti di Kabupaten Majalengka, kegiatan ini kembali dilaksanakan tanggal 19-20 Oktober 2022 yang bertempat di GGM Majalengka, tentu dengan suasana meriah dan antusias. Ini kita maklumi karena kegiatan ini sempat ditunda selama 2 tahun ketika Covid 19 melanda negeri tercinta ini. Kebahagiaan besar juga bagi para Pedagang Kaki Lima, yang berharap banyak mendapat keuntungan dari momen ini.

Kalau melihat Panduan Kurikulum Merdeka pada jenjang PAUD, itu ada 2 hal. Yang pertama Pembelajaran intrakurikuler, yang kedua Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Untuk pembelajaran intrakurikuler memberikan pesan yang jelas bahwa bagaimana seorang guru dapat menciptakan bermain bermakna bagi anak sebagai perwujudan “merdeka belajar, merdeka bermain” sehingga kegiatan yang dipilih juga harus memberikan pengalaman yang menyenangkan

Praktek manasik haji satu sisi bermanfaat untuk mengenalkan salah satu Rukun Islam sejak dini, namun kembali ke hakikat anak usia TK yaitu masa bermain. Apakah mampu anak sekecil itu belajar teori ibadah haji yang sangat detail dari mulai syarat dan rukunnya, begitu juga diaplikasikan dalam praktek manasik haji.

Sebagaimana kita ketahui, ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan merupakan ibadah yang spesial, karena ibadah haji hanya diwajibkan bagi yang “mampu”. Berbeda dengan rukun Islam yang lainnya. Pertanyaannya sebegitu pentingkah sejak dini anak dikenalkan teori dan praktek ibadah haji? Padahal kalaupun nanti pada saatnya kita dewasa atau sudah tua mampu berangkat haji, kita pasti akan melakukan manasik haji terlebih dahulu.

Selain itu, dalam tataran penerapan program ini, praktek manasik haji biasanya diadakan dalam lingkup TK se-Kabupaten Majalengka. Bisa kita bayangkan ribuan anak berkumpul dalam waktu yang sama ditambah guru dan orang tua masing-masing. Kesabaran yang diuji tidak hanya peserta didik tapi orang tua dan guru pendamping. Buktinya anak diperintahkan berbaris dari jam 07.00 pagi dan acara baru dimulai pukul 09.30 WIB untuk menunggu Pejabat Kabupaten Majalengka hadir untuk membuka kegiatan secara resmi. Padahal acara inti nya hanya sebentar. Kalau dihitung 2 jam lebih anak menunggu sambil berdiri, ini anak usia 5-6 Tahun lho, bukan pasukan ABRI yang berbaris, bayangkan? Kesal, haus, lapar, marah, nangis, capek sudah menyatu. Jadi ketika giliran acara inti, boro-boro dilakukan dengan khusu dan menyenangkan, yang ada anak sudah lelah dan ingin cepat selesai. Belum lagi hilir mudiknya pedagang kecil yang banyak menggangu khidmatnya kegiatan. Ada yang mengatakan buat melatih kemandirian? Ah nggak juga, banyak metode lain untuk melatih kemandirian anak.  Kemandirian itu berawal dari pendidikan orang tua dari rumah. Kalau anak tiap hari sekolah selalu ditunggu oleh orang tuanya, kadang tetap anak menjadi cengeng, sedikit-sedikit selalu bergantung pada orang tua.

Belum lagi dengan adanya biaya yang dibebankan pada siswa dan yang pasti beban bagi orang tua siswa sebesar Rp. 100 ribu atau jumlahnya variatif sesuai dengan kebijakan setiap lembaga, biaya untuk ongkos orang tua sekaligus uang jajan anaknya. Penarikan biaya tentu selama rasional dan proporsional tidak menjadi masalah, karena itu upaya pendukung suksesnya program pendidikan dan bukti dukungan orang tua juga. Namun, ketika melihat kenyataan seperti di atas, menurut penulis menyayangkan pengorbanan orang tua yang “terpaksa” mengadakan uang untuk iuran dan resiko biaya lainnya di tengah ketidakmampuan dia dari segi materi.

Ke depan, menurut saya perlu kita tinjau lagi pelaksanaan program ini. Kalaupun masih dilaksanakan cukup dalam lingkup lokal sekolah atau lingkup satu Kecamatan agar pengelolaan kegiatan diharapkan lebih efektif dan efisien. Pertimbangkan ulang dan benahi Program yang terkesan Islami, namun hanya menjadi seremoni dan kehilangan substansi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline