Lihat ke Halaman Asli

Muarif Essage

pembaca sastra

Ketika Aku Kawin Denganmu: Mencumbu "Rembulan Tembaga"

Diperbarui: 25 Desember 2022   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

(1)

Membaca puisi, apalagi harus membaca serangkaian karya dalam bentuk buku kumpulan puisi, bagi aku tak ada bedanya dengan situasi ketika manusia mengalami proses kawin dengan lawan jenis. Sebelum kawin itu terjadi, manusia yang berlainan jenis itu akan bertemu hingga pada akhirnya bercumbu. Aku bertemu dengan sejumlah puisi Moch. Mi'roj Adhika, A.S dan untuk sampai pada percumbuan yang nikmat dengan puisi-puisinya, Aku sepenuhnya harus menyerahkan segala hasrat bercinta. Ini aku lakukan agar "orgasme estetik" ketika aku bercumbu dengan kata-kata dalam puisi Mi'roj dapat mencapai klimaks dan membuahkan hasil. Setidaknya yang aku sebut dengan "hasil" adalah pemahaman yang bersifat personal dan aku selanjutnya merasakan kepuasan dengan memberikan ulasan hasil percumbuan dengan puisi Mi'roj.

(2)

Cukup lama aku mengenal puisi-puisi karya Moch. Mi'roj Adhika, A.S melalui serangkaian antologi puisi bersama, baik dengan beberapa penyair di tingkat lokal maupun dengan banyak penyair nasional. Kiprahnya dalam dunia puisi, sesungguhnya tak diragukan lagi. Hal ini terlihat keterlibatannya dalam sastra radio, MUNSI (Musayawarah nasional sastrawan Indonesia), dan dari banyaknnya puisi karyanya yang hampir selalu dimuat dalam beragam antologi bersama di tingkat nasional. Perihal seringnya ia muncul di banyak buku puisi bersama itu, aku sempat menyebutnya sebagai penyair spesialis antologi bersama. Namun, sebutan itu kini telah gugur seiring penyair ini menerbitkan buku puisi pertamanya yang berjudul Adakah di Sakumu Rembulan Tembaga (penerbit Wadah Kata, Maret, 2022). Buku puisi ini memuat 79 puisi yang ditulis Mi'roj dalam rentang waktu dari tahun 1996 hingga 2022. Dalam kurun waktu hampir 20 tahunan ini aku seperti ditunjukkan adanya proses kepenyairan yang amat matang dalam bergelut dengan kata-kata. Mi'roj -sebagaimana dipaparkan dalam proses kreatifnya- memang banyak belajar dari serangkaian kritik yang ditujukan kepadanya dan beragam aktivitas sastra yang mampu menempanya menjadi seorang penyair.

Dari fakta ini aku dapat membaca bahwa pencapaian kepenyairan Mi'roj diraihnya melalui jalan yang tidak mudah. Mi'roj bukan penyair yang lahir dari politisasi sastra "wisudawan penyair" yang amat naf dan lebay. Tanpa perlu formalitas sastra yang dibuat-buat itu, kepenyairan Mi'roj lahir dari proses kepahitan untuk berjuang dalam menegakkan etos kepenyairannya. Maka, bagi aku, puisi Mi'roj yang berjudul "Segelas Kopi Pahit" sangat tepat diletakkan sebagai pembuka kumpulan puisinya.

SEGELAS KOPI PAHIT

Sore itu, kau lukis bayang-bayang impian

di atas pasir tepi pantai

tergambar lalu terhempas air laut

terus kau lukis tanpa henti

terus pula air laut menghapusnya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline