Diam adalah perbuatan yang tampak dari berhentinya sebuah pembicaraan. Perbuatan ini tentu saja disengaja dan jelas menjadi pilihan individual sebagai reaksi atas persoalan yang muncul di hadapannya. Diam bisa timbul dari keadaan tertentu yang tampak dari adanya peristiwa di sekitar manusia yang mempengaruhinya dan dirasakan sebagai hal yang membuatnya tidak sanggup berbicara.
Ketidaksanggupan ini boleh jadi karena malas untuk berbicara atau sebab peristiwa yang dihadapi begitu menggunjang hatinya sehingga membuat manusia tak mampu berkata-kata.
Hakikat diam itu sendiri sesungguhnya belum sepenuhnya diartikan diam dalam arti tak berkata apa pun. Diam bisa jadi hanya tidak sanggup berbicara melalui mulut yang bersuara. Akan tetapi di dalam hatinya seseorang mungkin berbicara. Adakah manusia benar-benar dapat diam dalam pemahaman sama sekali tidak berkata-kata sekalipun dalam hati?
Perbuatan diam dapat berimplikasi bagi manusia lain dan dapat pula berdampak pada individu sendiri yang diam. Keduanya sama-sama tidak menyenangkan. Bahkan bila manusia berada dalam keadaan didiamkan, tentu saja kita akan bertanya mengapa demikian.
Didiamkan oleh orang lain sungguhnya teramat manyakitkan, terlebih-lebih bila pendiaman itu tidak diringi dengan penjelasan atau alasan perlunya orang lain harus didiamkan.
Haruskah kita diam ketika kita didiamkan oleh orang lain? Inilah hakikat dari sajak yang ditulis Sapardi Djoko Damono dengan judul "Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini". Mari kita membacanya.
Ketika kita membuka buku ini apakah lembaran-lembaran
kertas ini bertanya untuk apa?
Ketika kita berjalan-jalan sore hari apakah trotoar bertanya
mau ke mana?
Ketika kita diam dan tidak berbuat apa pun apakah hati