Lihat ke Halaman Asli

Muarif Essage

pembaca sastra

Menyambut Yudhistira, Membaca Kata

Diperbarui: 23 Maret 2022   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sajak-sajaknya Yudhistira memberikan kesan dibuat oleh anak-anak yang tiada berdosa dan lugu pikiran-pikirannya. Logikanya pun logika anak-anak yang dengan heran bertanya dan bertanya, anak-anak yang mengejar bayangannya sendiri, mencoba dan tiba pada kesimpulan-kesimpulan yang menggelikan. (HB. Jassin, "Beberapa Penyair Muda di Depan Forum", DKJ, 1976: 17).

Penyair Yudhistira ANM Massardi telah mampir ke Tegal dalam rangka Safari Sastra, 22 Maret kemarin. Saya menyaksikan "Si Biarin" itu membacakan karya-karyanya. 

Entah mengapa kegiatan Safari Sastra yang dituanrumahi Dewan Kesenian Kota Tegal diberi tajuk "Yudhistira ANM Massardi Mencari Cinta". Tentu saja, penamaan ini merujuk pada karya novel yang pernah ditulis Yudhistira dengan judul Arjuna Mencari Cinta. 

 Yudhistira -siapa pun yang membicarakannya- tidak melepas-kaitkan antara dirinya dengan novel tersebut. Ini sama dengan kita yang seringkali tidak bisa melepaskan diri Yudhistira dari puisinya yang berjudul "Biarin!" Fenomena Yudhistira merupakan fenomena atas ketenaran dua karya tersebut.

Menyikapi kehadiran Yudhistira di Tegal, ternyata membuat saya teringat pada ucapan kritikus besar yang pernah dimiliki negeri ini. Seperti yang saya kutip dalam bagian awal catatan ini, HB. Jassin memang berhak menganggap bahwa puisi-puisi Yudhistira memberikan kesan sebagai puisi yang dibuat anak-anak yang tidak berdosa dan lugu pikiran-pikirannya. 

Penilaian yang pernah diberikan oleh HB. Jassin, menurut saya, tidaklah salah. Akan tetapi, penilaian itu tidak sepenuhnya benar. Jassin ternyata melihat puisi Yudhistira kala itu hanya dipandang sebagai cara seorang penyair menulis puisi. Jassin lupa, dia tidak meletakkan puisi-puisi Yudhistira sebagai cara penyair menyikapi sebuah zaman.

Yudhistira adalah generasi yang lahir dengan situasi yang jauh berbeda dengan generasi Chairil Anwar. Bila Chairil Anwar berhadapan dengan semangat zaman yang harus menegakkan eksistensi sebuah bangsa pada zaman revolusi sehingga membutuhkan generasi pemberani sebagaimana tergambar jelas lewat puisi "Diponegoro", Yudhistira justru dihadapkan pada tumbuhnya generasi "brengsek" di zamannya. 

Puisi Yudhistira yang berjudul "Rudi Jalak Gugat" menurut saya merupakan puisi dihadirkan untuk mengkontraskan dua generasi dalam zaman yang berbeda. Mari kita bandingkan antara kutipan puisi Cahiril Anwar dengan kutipan puisi Yudhistira.

Di masa pembanguna ini

tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline