1/
Hidup secara baik bukan pilihan, namun sebuah keharusan. Oleh karena itu, hidup secara baik harus kita pahami dalam kerangka berpikir yang berganda: baik-internal untuk diri kita dan baik-eksternal untuk di luar diri kita. Keduanya akan menjadi kebaikan hidup apabila berjalan bersama. Ketika seorang suami atau seorang istri, misalnya, berada dalam kesepakatan satu rumah tangga, yang seharusnya dilakukan adalah mencipta hidup dengan menjalankan hidup yang baik dalam satu pasangan. Mereka yang pada awalnya dibentuk melalui sebuah pertemuan dua "diri-internal", lalu diresmikan melalui institusi agama dan negara, harus menerima penyatuan "diri-internal" mereka ke dalam penyerahan utuh bernama pasangan hidup.
Kata "pasangan" selalu kita letakkan dalam pemahamannya dengan kata "serasi", "harmonis", "ideal", juga dengan kata "romantis". Kesemua kata itu menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh "pasangan", sehingga muncul istilah "sepasang yang serasi-harmonis-ideal-romantis". Akan tetapi, kata "pasangan" dapat saja berubah maknanya apabila salah satu dari "diri-internal" itu mencari "pasangan" yang semata untuk kepentingan memenuhi kebutuhan internalnya. Ketika seorang suami meletakkan istrinya (atau sebaliknya) hanya untuk pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani internalnya saja, maka sesungguhnya suami (atau istri) itu tak lebih memandang pasangannnya sebagai pemenuh kebutuhan. Salah satunya bisa mengalami objektifikasi, bahkan secara tidak sadar dapat menjadi eksploitasi demi kesenangan internal. "Suami-yang-melindungi" atau "isitri-yang-melayani" sering kali digunakan sebagai alat internal untuk "menggenggam" objek dalam kekuasaannya.
Sudah seharusnya kata "melindungi" atau "melayani" terlepas dari pengertian mengatur, mendikte, memaksa, dan mengekang. Kedua kata itu seyogyanya hadir sebagai kehendak untuk menjaga, menghormati, dan mendudukan "diri-internal" masing-masing sebagai sosok yang bermakna.
2/
Benarlah kata penyair Sapardi Djoko Damono yang pernah berucap, "Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca/tak ada huruf kapital di awalnya". Separah itukah perjalanan hidup manusia selama ini tanpa jeda sehingga lupa berpikir dan menjadi manusia yang tidak mau berpikir untuk melakukan sesuatu yang "besar" maknanya bagi orang lain? Sesuatu yang "besar" itu menjadi amat relatif sifatnya untuk masing-masing diri kita.
Ketika kita berucap "aku kangen kamu", ucapan ini menjadi amat besar maknanya untuk dua orang yang ingin bertemu. Dari ucapan "aku kangen kamu" itu lah hidup secara baik sebenarnya dapat bermula. Tentu saja tanpa "senewen".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H