Lihat ke Halaman Asli

Muarif Essage

pembaca sastra

Kalam Penyair Kepada Umat Pembacanya

Diperbarui: 26 Januari 2022   10:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya terus saja menimbang-nimbang buku puisi karya Triyanto Triwikromo dengan rasa tertarikan yang amat mendalam atas pilihan judul yang digunakannya, Kitab Para Pencibir (penerbit Gramedia, 2017). Ilustrasi pada sampul buku seperti memaksa saya bermain-main dengan beragam tafsir: sepasang malaikat di bawah terik matahari yang berjongkok saling membelakangi. Kedua malaikat itu seperti sedang berpikr atau memang seperti sedang mengalami hilang pikir. Sebuah ilustrasi yang bisa saja mewakili keseluruhan isi buku puisi itu. Memperhatikan daftar isinya, saya dibuat yakin bahwa buku puisi Kitab Para Pencibir memang sebuah "kitab suci" yang disusun atas lima kalam, yakni Kalam Awal, Kalam Rahasia, Kalam Pengasingan, Kalam Waktu, dan Kalam Akhir. Triyanto telah menurunkan kalam kepada umat-pembacanya. Lantas bagaimana umat-pembaca mampu menerjemahkannya?

Sebagai umat-pembaca, saya sesungguhnya belum secara keseluruhan "mudeng", apalagi mampu menerjemahkan kalam penyair ke dalam bahasa umat-pembaca awam seperti saya. Hanya satu-dua puisi saja, itu pun masih meraba-raba arah kalam yang disampaikan penyair. Membuka "Kalam Awal", saya menemukan satu puisi berjudul "Ziarah" (hal. 2) yang berisi dialog antara "Aku-manusia" dengan "Aku-Tuhan". Di sini, Tuhan yang menolak bertemu manusia:

"Aku mencari-Mu."

"Aku tak ada."

"Bukalah pintu-Mu."

"Tak ada pintu untukmu."

"Aku hendak menziarahi-Mu."

"Aku bukan makam."

Bila saya membaca "Kalam Akhir" dalam Kitab Para Pencibir, saya seperti ditunjukan oleh penyair sebagai sang pembuat kalam, bahwa Tuhan menolak bertemu dengan manusia karena , sebagai makhluk-Nya, manusia telah menjadi monster yang menggunakan agama sebagai alat untuk membunuh setiap manusia yang dianggap sebagai Dajal. Dalam "Kalam terakhir" ini, penyair hendak memberikan kesimpulan atas situasi yang pernah terjadi di negeri ini: agama menjadi justifikasi untuk menumbangkan orang lain (sebagai Dajal, dalam bahasa lain menggunakan istilah Toghut) atas dasar kepentingan kelompok yang menganggap dirinya paling benar. Dalam puisi berjudul "Monster" (hal. 167), "Aku-Tuhan" mengucap kalam:

        Setelah segalanya berlalu, kini kau sekadar

menjadi monster pembunuh bagi siapa pun yang

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline