Ini malam yang sulit dan tak bisa aku jelaskan dengan kata mengapa. Sudah beberapa malam aku membolak-balikan lembar demi lembar halaman buku puisi.
Pernah aku berpikir, dengan membolak-balikan halaman demi halaman buku itu, bisa kutemukan pintu, jendela, lubang angin, atau lubang sekecil apap pun dari kata, baris, dan bait.
Namun, malam yang untuk kesekian kalinya, saya belum juga melihat secercah cahaya dari lubang sekecil apa pun. Setiap kata, setiap baris, juga setiap bait seperti menutup diri serapat-rapatnya.
Aku setengah frustrasi melihat begitu panjang dan beberapa ada puisi yang amat panjang untuk saya jejaki satu demi satu. Sebenarnya, bukan pada banyaknya bait atau banyaknya bagian-bagian tubuh puisi, namun pada diksi dan baris-baris puisi itu yang menyimpan banyak ruang yang masih gelap untuk kumasuki.
Ini jauh berbeda ketika aku mengetuk pintu-pintu "Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita", bahkan lebih amat berbeda saat aku mengetuk dan memasuki "Namaku Sita". Dalam "Kolam" -meski tidak sebegitu mudah menemukan pintu-pintu yang ingin kumasuki-aku masih bisa merasakan berada dalamnya.
Untuk bukumu, Tuan, malam yang kesekian ini aku masih didera pikiran yang amat tak pasti dan kekesalan pada diriku yang rabun interpretasi tatkala baris-baris itu seakan mencekik leher pemahamanku hingga udara hanya sedikit keluar dari rongga-rongga otakku. Sungguh, ini menjadi malam yang merisaukan sekaligus menjadi malam yang tak akan pernah ada bintang.
Sebenarnya, pada awalnya aku agak ragu kalau Tuan memberi judul buku "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?" Ada ketidaksukaan aku bila membandingkannya dengan judul-judul buku Tuan yang menawan: "Duka-Mu Abadi", "Perahu Kertas", "Hujan Bulan Juni", "Babad Batu", arau "Namaku Sita" dan "Ayat-ayat Api".
Aku sempat bertanya kepada diriku sendiri, Mengapa harus "Den Sastro"? Siapakah "Den Sastro"? Mendengar nama itu, aku membayangkan dia seorang laki-laki Jawa yang priyayi, yang kolot, yang mempunyai istri lebih dari satu, yang suka mengenakan baju Jawa dengan blangkonya di kepala. yang seorang majikan dengan banyak kekuasaan di tangannya.
Sampailah aku pada baris-baris puisi Tuan dan aku merasakan hilang harapan. Aku seperti tercekik oleh kata-kata Tuan: "Kau tak pernah bisa memandang ke dalam dan/hanya bisa melihat huruf yang susul-menyusul di koran/pagi, yang harus kau bujuk terlebih dahulu agar menjadi berita" ("Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?", hal. 3). Membaca ini, imajinasiku sampai ke pelataran puisi Tuan.
Meski Tuan bilang itu "koran pagi" dan "berita", tetap bagiku "koran pagi" menjelma "puisi" milik Tuan dan "berita" menjelma "tafsir" bagi puisi Tuan. Bila benar begini adanya, aku harus "bujuk terlebih dahulu" setiap kata-kata Tuan agar aku bisa menafsirkannya. Namun, sayangnya malam ini aku masih saja "hanya bisa melihat huruf yang susul-menyusul" dalam 12 puisi Tuan yang panjang.
Sebelum merapikan tempat tidur, aku katakan kepada Tuan, hari ini tak ada berita yang dapat kusampaikan tentang 12 puisi panjang milik Tuan. Namun, pada malam-malam yang panjang kelak, akan ada berita setelah aku membaca entah untuk yang keberapa kalinya. Sebelum aku tutup kedua mata ini, aku lantunkan do'a untuk Tuan yang pergi meninggalkan pembaca: