Lihat ke Halaman Asli

Muarif Essage

pembaca sastra

Yang Fana adalah Waktu, Kita Abadi

Diperbarui: 4 Januari 2022   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kini aku baru tahu, setidaknya untuk diriku sendiri, mengapa Sapardi Djoko Damono menulis puisi dengan baris yang berbunyi "Yang fana adalah waktu, kita abadi". Semenjak dilahirkan hingga usia setua ini, aku hidup dalam bentangan waktu yang bergerak. Waktu tidaklah diam di tempat. Waktulah yang membawaku hingga usia tua. Waktu yang aku alami ketika kanak-kanak, menjadi waktu lampau ketika kini bukan lagi kanak-kanak. Maka dari itu, "waktu" itu fana, tidak abadi.

Waktu pagi adalah fana sebab datang waktu siang. Waktu siang adalah fana sebab datang waktu petang. Waktu petang adalah fana sebab datang waktu malam. Dalam waktu ada peristiwa yang terus berganti-ganti dengan peristiwa lainnya. Makanya, peristiwa juga fana. Itulah kefanaan waktu, sekaligus juga kefanaan peristiwa. Bukankah ada yang menyebut "peristiwa itu abadi", seperti peristiwa sejarah? Sejarah bukanlah keabadian, sejatinya adalah kefanaan. Sejarah menjadi abadi karena kita yang mengabadikan.

       Lantas, mengapa Sapardi menyebut "kita abadi"? "Kita" adalah pelaku yang berada atau mengalami waktu yang berganti-ganti. Kita tidak berubah sedikit pun menjadi sosok lain yang mengalami peristiwa. Kita kekal dalam keabadian manusia. Sosok fiksional banyak yang menjadi "kita yang abadi". Nawang Wulan, Jaka Tarub, Malin Kundang, Bawang Merah-Bawang Putih, Rama-Sinta, Siti Nurbaya, Datuk Maringgih, juga Srintil adalah "kita yang abadi". Sebagai sosok fiksi mereka tidak hilang. Apalagi sosok-sosok faktual yang historis sepeti Sukarno, Moh. Hatta, Cokroaminoto, H. Agus Salim, bahkan sosok yang dimasukan dalam kategori "kiri" sepeti Muso, DN Aidit, Kartosuwiryo, atau Kutil tetap berada dalam keabadiannya.

       Saya, Anda, Kalian, dan Mereka adalah "kita yang abadi". Bukankah manusia hidup dalam dunia yang fana dan manusia adalah mahluk yang fana? Sapardi bukanlah Tuhan ketika penyair itu menyebut "kita abadi". Keabadian yang kita miliki adalah kekekalan manusia sebagai manusia dalam bahasa pikiran manusia.

Berbahagialah, kita berada dalam keabadian manusia. Menerimakah Anda bila aku menyebut "kita dalam keabadian binatang" atau "kita dalam keabadian setan"?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline