Lihat ke Halaman Asli

Muara Alatas Marbun

Alumni U Pe' I

Dalih "Yang Penting Ilmunya" Membuat Sedih Para Kreator

Diperbarui: 24 Januari 2019   22:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber| pixabay.com

Dimulai dari sebuah kisah di ruang laboratorium matematika, di tengah kejenuhan mengerjakan tugas salah satu mata kuliah banyak yang berbincang-bincang di luar topik mata kuliah tersebut. Salah satunya adalah berbicara tentang buku, dan yang memulainya adalah kaum hawa.

Saya tidak bohong dan berani bersumpah bahwa mereka memulai pembicaraan yang di luar "kebiasaan" mereka seperti idola negeri gingseng, masalah kecantikan, masalah percintaan dan hal-hal remeh lainnya.

Topik tentang buku ini dimulai dari ketertarikan mereka untuk membaca buku yang berjudul "Sebuah Seni Untuk Bersikap Masa Bodo" yang memang tengah digandrungi oleh pembaca dadakan.

Kemudian berlanjut dari keluhan saya mengenai mahalnya beberapa buku buruan saya dan menyebutkan bahwa tempat emperan buku paling terkenal di Bandung pun kebanyakan menjual yang imitasi (KW). Lalu, salah seorang gadis berwajah ibu-ibu dalam forum topik tersebut pun nyeletuk dengan mengatakan "ngga' apa-apa atuh (yang KW juga), yang penting ilmunya"

Seakan tersengat dada ini meskipun apa yang dikatakannya benar juga dan mengacu pada paradigma esensialisme. Meskipun sempat terlintas dalam benak bahwa yang dikatakan oleh nona ini sangat cocok dengan saya yang berasal dari kaum marhaen yang mencoba makan di kafe yang bernama "diatas normal" saja sudah berasa Hotman Paris.

Harga yang murah, isi yang tidak memiliki perbedaan yang mencolok hingga mudah didapatkan menjadikan buku KW sebagai primadona mahasiswa kaum marhaen yang kecanduan buku hingga yang cuma latah dengan dunia literasi.

Namun, rasa tidak nyamanlah yang justru mengisi benak saya sebelumnya dimana saya merasa kasihan. Kasihan terhadap nasib para creator buku tersebut dari mulai gagasan penulis hingga menjadi benda nyata yang bisa kita miliki.

Proses yang cukup panjang untuk menjadikan sebuah buku itu nyata, dan dapat patah begitu saja dengan kehadiran benda imitasinya. Lebih mengejutkannya lagi ada saja orang yang memakluminya. Sungguh keterlaluan itu orang.

Seperti yang diketahui banyak sekali orang-orang yang terlibat dalam pembuatan sebuah buku, mau sekonyol dan se-unfaedah-nya buku itu tetap saja keluar uang untuk memproduksinya. Pelaku-pelaku pembuat buku itu bisa dilacak dari lembaran awal yang berisi identitas buku tersebut, mulai dari penulis, desainer sampul, editor, penyunting, penerbit, penata letak isi, dan kawan-kawan.

Tentu menjadi suatu kebanggaan bila namanya terpampang sebagai kreator dari buku tersebut dan saya pun berpikir mereka justru seperti para kru film yang justru lebih bangga melihat kredit film ketimbang isi dari film tersebut.

Penulis mendapatkan gagasan membuat buku, mencari konten dan mulai merangkai pola-pola kata di atas media menulisnya. Lalu dengan bantuan para kontributor seperti desainer, penata, editor dan penyunting (dan juga penerjemah jika buku tersebut menggunakan bahasa asing), mereka mulai memperindah dan merevisi bagian-bagian yang perlu diperbaiki sebelum akhirnya dinilai oleh penerbit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline