Padang dan Kediri akhir-akhir ini menjadi wilayah yang sering disorot oleh pecinta dan pengkritis dunia literasi awal (membaca dan menulis) kala buku-buku disita oleh TNI karena dianggap meresahkan.
Meskipun berbeda tempat, tapi prosedur yang dilakukan pun sama yaitu datang ke penjual buku, menyita buku-buku yang mereka pikir 'meresahkan', bertanya kepada sang penjual hingga menyerahkan hasil sitaan kepada pihak pengadilan. Ketika beberapa orang bertanya kepada para penyita tersebut, yang diperoleh hanyalah "diproses" dan kata-kata membosankan lainnya.
Meskipun begitu, TNI pun tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena mereka pun hanya mendapat "komando" semata. Datang, grebek, sita, kasih ke pihak pengadilan, dan selesai.
Namun tidak ada yang menulis apakah dilakukan dengan aturan yang sebenarnya yang justru harus disidak oleh penyidik yang ditunjuk dan berizin dari pihak pengadilan, yang notabene setidaknya datang ke tempat untuk digrebek sambil memperlihatkan suratnya biar tidak dianggap menyalahi prosedur.
Alasan yang dilakukan para aparat pertahanan negara ini pun sama dalam menyita buku-buku tersebut. Masyarakat (awam) pun dijadikan alasan terbesar dan sepertinya menjadi antiklimaks agar mereka tidak menjadi 'bersalah' di mata beberapa kelompok, termasuk ICJR. Untuk itu mari kita bergeser kepada antiklimaks kita, yaitu masyarakat yang 'resah'.
Jikapun benar masyarakat menjadi resah, maka mereka sepertinya hanya menuduh sampul buku yang kelihatannya meresahkan mereka. Seperti halnya melihat orang yang baunya tidak karuan, bukan berarti dia jarang mandi dan bisa saja dia itu habis bekerja menyedot sceptic tank yang tidak dikuras 2 abad. Dua hal itu adalah kemungkinan yang masuk akal dan bukan khayalan di luar logika. Begitu juga dengan buku, analogi ini masuk, yeeeeyyy...
Beberapa buku yang mereka sita pun pernah saya kenal dan hanya beberapa bab saja yang saya baca, seperti buku Islam Sontoloyo karya Soekarno. Isinya lebih pada proses pendalaman ilmu-ilmu keislaman Soekarno dan juga kritiknya terhadap kolotnya umat muslim dalam melaksanakan ajarannya ditengah pergolakan zaman yang mulai berubah dari sektarian menjadi nasionalisme. Ir. Soekarno adalah representasi dari seorang muslim moderat yang berpengaruh sebelum Abdurrahman Wahid.
Buku yang dicetak tahun 2010 ini pun tidak menuai keresahan apa-apa, bayangkan dari 2016-2018, di tengah isu-isu agama mulai meningkat. Fundamentalis agama mulai menunjukkan taringnya dengan menyelenggarakan berbagai demo dan hasutan agar menegakkan agamanya yang otomatis serta pasti menyingkirkan segala hal yang dinilai merusak citra agamanya.
Jika seperti itu, maka buku karya Soekarno ini seharusnya jadi sasaran empuk para ekstrimis tersebut yang saat ini ditinggal kabur pimpinannya. Namun, kenapa tidak terjadi dan malah yang melakukannya malah aparat negara?
Ketakutan akan judul buku dan keengganan dalam membaca isinya menjadi hal yang bisa dituduhkan dan lumrah. Judulnya saja sudah provokatif pasti akan menjadi perhatian, layaknya iklan. Tetapi judul memang harus seperti itu agar tertarik, disini hanya permainan marketing, tidak ada yang lain, tuan. Sungguh nestapa sekali nasib judul buku.
Buku itu hadir dan mampu mempengaruhi para pembaca yang mampu menghayati maksudnya. Judul dan permainan kata dalam buku adalah substansi yang estetik dimana mampu memperlihatkan begitu elegan penulis dan penutur karyanya dalam ber-literasi.