Lihat ke Halaman Asli

Muammar Saudi

Long Life Learner | Student at Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada

Sinjai, Pilkada dan Perempuan

Diperbarui: 19 September 2024   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: https://suarajelata.com/2024/07/07/dapat-lampu-hijau-h-nursanti-dipastikan-maju-di-pilkada-sinjai/

Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Sinjai telah berlangsung dengan menghantarkan setidaknya empat bakal calon, sebelum akhirnya ditetapkan resmi sebagai calon oleh KPU. Dinamika tarik ulur partai politik khususnya Gerindra akhirnya berakhir dengan memberikan rekomendasi kepada Ratnawati-Mahyanto. Diantara nama-nama bakal calon itu ada Ratnawati-Mahyanto, Andi Kartini -Muzakkir, Muzayyin Arif-Andi Ikhszan, dan Nursanti-Lukman Arsal. Keputusan MK menjadi lampu hijau bagi para petarung utnuk masuk di arena gelanggang pertandingan.

Sangat menarik jika melihatnya dari perspektif gender, dan politik. Setidaknya ada tiga calon Perempuan yang maju sebagai 01, sebuah sejarah baru dalam dunia perpolitikan di Sinjai. Pantas saja, Syahrul Yasin Limpo Mantan Gubernur Sulawesi Selatan menyebut Sinjai itu kecil, tapi merupakan laboratorium politik Sulawesi Selatan. Terlepas dari benar atau kelirunya argument itu, setidaknya pertunjukan politik begitu terasa dan dinikmati. Mirip-mirip dengan yang terjadi di Pilgub Jawa Timur.

Hal yang dianggap menjadi lumrah sebelumnya bahwa kekuasaan patriarki selalu mendominasi berbagai aspek kehidupan termasuk politik. Kate Millet dalam Sexual Politic (1976) mendorong bagaimana perempuan untuk tidak hanya berpartisipasi dalam sistem politik yang ada tetapi juga menantang dan mengubah struktur kekuasaan yang mendiskriminasi. Terlepas dari perdebatan di arena publik Islam mengenai posisi kepemimpinan, fenomena dominasi perempuan pada pilkada tahun ini merupakan setitik kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.

Tiga Srikandi Sinjai

Jauh sebelum tren perempuan dilirik menjadi pendamping di Pilkada, peluang bagi perempuan sebagai pemegang kekuasaan sebenarnya dapat dilihat dari sejarah seperti Ratu Balqis yang masyhur, begitu juga dengan Cleopatra. Ada juga Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat Presiden RI, serta beberapa perempuan yang pernah menjadi Gubernur, Menteri dan jabatan publik lainnya.

Dalam konteks lokal Sinjai, mitologi To Manurung di Karampuang sebagai cikal bakal pemimpin pertama itu seorang Perempuan. Perkembangan zaman yang pada akhirnya menempatkan ketidakadilan bagi perempuan. Kesetaraan gender saat ini masih menjadi polemik yang disebabkan oleh belenggu budaya patriarki, sehingga menempatkan perempuan dalam tugas pekerjaan domestik.

Sejarah itu muncul kembali, kontestasi Pilkada memunculkan figur-figur perempuan potensial. Ketiganya itu mewakili identitas dan geopolitik mereka masing-masing. Ada Andi Kartini yang berlatar belakang politisi dan saat ini menjabat Ketua DPD Golkar Sinjai dikenal sebagai sosok pemimpin yang merakyat. Begitu juga dengan Hj. Ratnawati yang dikenal sebagai pejabat tajir, yang tentu memiliki pengalaman panjang di pemerintahan. Terakhir, ada Hj. Nursanti seorang pengusaha tambang yang digadang-gadang "no limit" oleh netizen.

Keberhasilan ketiga perempuan ini menjadi kosong satu menunjukkan dominasi dan kemampuan dalam mengubah struktur kekuasaan yang ada. Namun, perlu juga dikritisi akan kemampuan mereka kelak dalam merumuskan kebijakan berbasis gender. Apakah betul-betul mampu untuk menunjukkan keberpihakan terhadap perjuangan kaumnya, ataukah hanya menjadi kaki tangan pria?. Tentu, perempuan harus bisa berdikari. Tidak sekedar menjadi alat politik oligarki atau korban "pelatih" saja.

Kekuatan dan Partisipasi Politik kaum Emak-emak

Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kaum Emak-emak menjadi sasaran para tim sukses dalam merebut suara. Secara jumlah dan militansi, emak-emak punya kekuatan yang besar dan menjadi rebutan para calon. Judith Butler dalam bukunya Gender Trouble (1990) berpendapat bahwa gender adalah performatif, artinya identitas gender dibentuk oleh perilaku dan peran yang dipaksakan oleh masyarakat. Dalam konteks ini, partisipasi aktif emak-emak dalam politik dapat dilihat sebagai tindakan performatif yang menantang dan mengubah norma-norma sosial yang ada. Tradisionalnya, peran perempuan dalam banyak masyarakat Indonesia, termasuk di Sinjai, lebih sering dikaitkan dengan tugas-tugas domestik seperti mengurus rumah tangga dan anak-anak. Arena politik, di sisi lain, sering dianggap sebagai domain laki-laki, di mana pengambilan keputusan dan kepemimpinan publik adalah tanggung jawab mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline