Ciri khas masyarakat Indonesia yang penuh kekeluargaan dan kebersamaan memudar. Semangat tolong menolong dan bergotong royong mulai jarang terlihat. Pengaruh modernisasikah? Mungkin saja.
Memang sulit melihat peta besar keakabran Indonesia saat ini. Khusus diperkotaan, mari tengok sejenak lingkungan RT (Rukun Tetangga) sebagai super miniatur Indonesia. Disinilah kita memulainya. Sebuah wadah masyarakat majemuk budaya, ras dan agama. Dilingkungan RT mereka bermukim bersama dan berusaha membangun lingkungan bersih, tertib, aman, nyaman, dan sejahtera.
Modernisasi memang merubah lingkungan masyarakat. Di kota besar seperti Jakarta, pengelompokan bertambah dan bervariasi. Baik dalam kelompok sosial primer yang lebih intim seperti forum kekeluargaan maupun sekunder (kelompok yang lebih obyektif dan rasional) misalnya Koperasi.
Ada beragam paguyuban dan kelompok budaya. Tumbuhnya getho baru seperti masyarakat di wilayah kumuh, perumahan padat penduduk, pinggiran sungai atau rel kereta, hingga ke cluster perumahan sederhana, mewah, rusun dan apartemen.
Lebih kompleks lagi pengelompokan baru muncul akibat platform politik dan juga aliran agama. Tumbuh polarisasi menguat dimasyarakat. Pengalaman terakhir Pilkada lalu di Jakarta menyisakan serpihan trauma akibat arus pengelompokan berbasis SARA.
Efek negatif seperti kebekuan dan keengganan berkegiatan bersama dimasyarakat masih terasa. Kelompok satu alergi dengan kelompok dua. Keluarga sungkan menyapa tetangganya khawatir ditolak karena berbeda keyakinan.
Semua berharap waktu menyembuhkan friksi latent tersebut. Ternyata harapan tinggal harapan. Saat ini pola komunikasi dan interaksi masyarakat ialah baku serang bukan saling menghargai seperti dalam sebuah keluarga besar.
Warga mengidentifikasikan dirinya kedalam dua kelompok bermusuhan Kadrun vs Cebong. Saling memaki dan menghujat mengganti kesopanan dan keakraban. Tidak jarang pemimpin masyarakat, pejabat politik dan bahkan tokoh agama terkontaminasi dengan semangat permusuhan.
Oleh karena itu lingkungan masyarakat ditingkat RT (bagian pemerintahan terkecil) sangat membutuhkan kepemimpinan yang peka dan peduli terhadap gejala renggangnya relasi tersebut. Relasi kaku harus dicairkan dan dihangatkan agar sikap saling membangun dan bukan menjatuhkan keluarga sendiri terwujud.
Kepemimpinan RT dan tokoh setempat harus mampu melihat kebutuhan rohani masyarakat yaitu suasana bathin Indonesia: keakraban dan kekeluargaan.