Masa perkuliahan merupakan fase transisi penting bagi seorang remaja, dimana mereka dihadapkan pada berbagai perubahan dan tantangan baru yang belum pernah mereka temui. Masa perkuliahan seharusnya menjadi waktu yang menyenangkan bagi mahasiswa untuk berkembang secara optimal. Di tengah hiruk pikuk dunia akademik, mahasiswa tak hanya dituntut untuk berprestasi, tetapi juga membangun relasi sosial dan menjalin pertemanan. Namun, di balik suasana indah perkuliahan, terkadang terselip realitas kelam yang dapat mencederai kesehatan mental mahasiswa. Faktanya, sebagian mahasiswa harus menghadapi pertemanan berbahaya (toxic friendship) dan perilaku pelecehan (bullying) yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka.
Toxic friendship dan bullying menjadi dua fenomena yang kian marak terjadi di lingkungan kampus, meninggalkan luka mendalam bagi para korbannya. Toxic friendship, bagaikan racun dalam persahabatan, menjerumuskan mahasiswa ke dalam hubungan yang tidak sehat dan destruktif. Orang-orang toxic dapat ditemui di dalam setiap kehidupan, seperti halnya pada lingkungan pertemanan mahasiswa. Manipulasi, kontrol, pengkhianatan, dan rasa iri yang mendalam menjadi ciri khasnya. Korban terjebak dalam lingkaran emosional yang negatif, direndahkan, dihina, dan dibuat merasa tidak berharga. Hal ini memicu stres, kecemasan, depresi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Apakah hanya toxic friendship saja yang berbahaya? tentu saja tidak, selain toxic friendship juga ada perikalu bullying yang harus diwaspadai dan dihindari.
Bullying tak kalah mengerikan, tindakan agresif dan berulang yang bertujuan untuk menyakiti dan mengintimidasi ini, dapat meninggalkan trauma mendalam bagi korbannya. Rasa takut, malu, dan terintimidasi menghantui mereka setiap hari. Dampaknya pun tak kalah mengerikan, mulai dari depresi, kecemasan, hingga penurunan prestasi akademik.
Menurut penelitian baru oleh Holt et al. (2020), orang yang terlibat dalam pertemanan yang buruk (toxic friendship) atau mengalami perilaku bullying, baik secara langsung maupun tidak langsung, cenderung mengalami gejala depresi, kecemasan, dan harga diri yang rendah.
Dari sudut pandang akademik, efek negatif teman buruk dan pelecehan juga dapat dilihat. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nickerson et al. (2019), siswa yang terlibat dalam pertemanan yang tidak sehat atau mengalami perilaku bullying, baik sebagai pelaku maupun korban, cenderung memiliki prestasi akademik yang lebih buruk daripada siswa lainnya. Hal ini disebabkan oleh masalah konsentrasi, kurangnya keinginan untuk belajar, dan stres yang berlebihan akibat tekanan pertemanan.
Pengalaman X, seorang mahasiswa Jurusan X di sebuah institusi ternama, adalah salah satu contoh kasus yang menggambarkan keadaan ini. Menurut pernyataan narasumber, "Dulu saya memiliki beberapa teman dekat di kelas. Tapi seiring waktu, mereka mulai menghina saya, menyebar rumor buruk tentang saya, dan bahkan sering menghasut orang lain agar tidak suka pada saya. Pada awalnya, saya merasa sangat terluka dan sakit hati, tetapi saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Sampai sekarang, saya masih sulit untuk percaya pada orang lain dan takut berteman dengan orang baru."
Kasus X menunjukkan bahwa teman dekat yang berbahaya dan pelecehan dapat berdampak pada kuliah dan menyebabkan trauma yang bertahan lama. Selain itu, studi Sari dan Listiyandini (2020) menemukan bahwa trauma yang disebabkan oleh bullying dapat menyebabkan gejala gangguan stres pasca-trauma (PTSD) pada korban.
Kesehatan mental sendiri merupakan aspek penting dalam kesejahteraan manusia secara keseluruhan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental adalah "kondisi sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan normal kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi pada komunitasnya" (WHO, 2018). Kesehatan mental lebih dari sekedar tidak adanya gangguan mental. Kondisi kesehatan mental meliputi gangguan mental dan disabilitas psikososial serta kondisi mental lainnya yang terkait dengan tekanan yang signifikan, gangguan fungsi, atau risiko melukai diri sendiri. Sebuah studi longitudinal yang dilakukan oleh Lipson et al. (2019) menemukan bahwa sekitar 36% mahasiswa mengalami gangguan mental, dengan depresi dan kecemasan menjadi masalah yang paling populer.