Hari ini kemanapun kita pergi akan selalu menemui sadar atau tidak, dengan pajak. Mulai dari hal kecil seperti membeli jajan di minimarket dekat rumah, top up saldo diamond permainan online mobile legend sampai saat beli rumah, mobil, dan kendaraan hits bermesin listrik. Pembicaraan negatif terkait pajak akan selalu seru, seperti berita akhir-akhir ini, pajak bea masuk untuk peralatan pendukung SLB yang sudah 2 tahun mendekam di gudang, akhirnya dibebaskan. Kemudian rencana kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12% tahun depan.
Sebenarnya apa sih pajak itu? sederhananya pajak adalah iuran wajib rakyat kepada pemerintah yang berkuasa guna mendanai kegiatan belanja dan kerja pemerintah sendiri, memang secara tidak langsung baru terasa guna dari membayar pajak, karena itu banyak rakyat Indonesia yang merasa pajak sia-sia karena manfaatnya tidak atau belum terasa oleh mereka.
Lalu kenapa banyak hal dipajaki, kanan kena pajak, kiri kena pajak. Hal itu guna memaksimalkan manfaat positif pajak, seperti membatasi peredaran minuman keras dengan cukai sehingga harga minuman beralkohol mahal dan hanya beberapa orang dengan pendapatan tertentu yang bisa "menikmati". Atau untuk memaksimalkan fungsi pajak mengurangi kesenjangan ekonomi dengan memajaki jumlah penghasilan tertentu, yang kemudian hasilnya digunakan untuk bantuan sosial ke mereka yang membutuhkan.
Saat kita kemudian berdiskusi terkait pajak yang dikenakan kepada mereka yang sangat kaya dan memiliki kemampuan untuk menyewa jasa konsultan yang siang malam mempelajari peraturan perpajakan sehingga dapat memanfaatkan peraturan yang ada sehingga jumlah pajak yang dibayar menjadi sekecil mungkin. Perkara perpajakan jadi semakin kompleks apabila cara menghindari pajak terutang sudah melewati batas negara dimana kemampuan untuk mendapatkan fasilitas bebas pajak semakin kuat.
Kasus terakhir yang sempat ramai terkait pemanfaatan fasilitas di luar batas negara guna meminimalkan pajak yang dibayar adalah kasus Panama Paper. Banyak nama usahawan dari seluruh dunia yang terungkap menggunakan fasilitas negara tax haven untuk menghindari perpajakan di negara domisili mereka, tidak terkecuali usahawan dari Indonesia. Beberapa nama yang sering muncul di media seperti Sandiaga Uno dan Luhut Binsar Pandjaitan. Meski sampai saat ini sudah tak lagi terdengar tindak lanjut pemerintah Indonesia terkait informasi Panama paper kecuali program Tax Amnesty.
Organisasi internasional G20 dalam pertemuannya di Paris pada 11 Juli 2023 sepakat bersama 138 negara lain untuk bekerja sama mengatasi masalah kegiatan perpindahan profit ke negara-negara tax haven atau negara dengan fasilitas perpajakan tertentu yang ujungnya mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
Salah satu isi dari perjanjian tersebut diantaranya adalah kesepakatan untuk menghadapi pergeseran profit oleh perusahaan multinasional dengan cara "menyamakan" tarif perpajakan badan di setiap negara tidak lebih dan tidak kurang dari 15%. Tujuannya adalah agar tidak ada lagi perusahaan yang berusaha "memindahkan" laba dari negara yang memiliki peraturan perpajakan dengan tarif pajak tinggi ke negara dengan tarif pajak rendah atau tanpa pajak, di mana aktivitas ekonomi sebenarnya minim atau bahkan sama sekali tidak ada, sehingga mengurangi basis pajak secara keseluruhan
Di Indonesia perjalanan untuk menurunkan tarif pajak menjadi 15% untuk PPh Badan sudah dimulai sejak peresmian Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dimana kemudian peraturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan dimana kedua hal penting terkait upaya penghindaran pajak dan perjanjian perpajakan di tingkat internasional. PP 55 menjadi dasar untuk meratifikasi 2 pilar yang disarankan OECD, dimana salah satunya isi saran tersebut adalah penerapan tarif "bersama" 15%.
Saat ini tarif yang berlaku di Indonesia adalah 22% dengan insentif tertentu untuk perusahaan dengan peredaran bruto di bawah 50 Milyar. Perusahaan multinasional tentunya memiliki banyak perusahaan anak dan rekan bisnis dengan hubungan istimewa yang dapat menggunakan fasilitas insentif tersebut. Apabila pemerintah tidak mengubah kebijakan insentif tersebut ada resiko hilangnya potensi perpajakan yang signifikan dengan memecah omzet dengan beberapa anak perusahaan.
Salah satu poin penting juga apabila seluruh dunia telah menetapkan tarif mereka sama di titik 15% namun tidak adanya persamaan persepsi dasar pengenaan pajaknya maka usaha untuk menanggulangi pergeseran profit dan sebagainya akan sia-sia. Dapat dilihat di peta di bawah, beberapa negara masih belum mengadopsi Value Added Tax (VAT) salah satu bentuk perpajakan berbasis tujuan (destination-based tax). Sedangkan peraturan perpajakan badan hampir di seluruh negara dunia berbasis sumber pendapatan (origin-based tax),