Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Pertanian Presisi untuk Swasembada Pangan

Diperbarui: 3 Juli 2015   14:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika Jokowi-JK mencanangkan “revolusi mental”, terbuka harapan akan revolusi baru dalam pertanian pangan padi. Terlebih mereka mencanangkan visi “agribisnis kerakyatan” sebagai basis swasembada beras.

Tapi, sampai hari ini, pertanda revolusi itu tak kunjung tampak. Langgam kerja Kementan tetap business as usual. Antara lain perbaikan jaringan irigasi (3.0 juta ha), subsidi benih dan pupuk, pembagian alsintan (traktor, pompa irigasi), dan pencetakan sawah (3.0 juta ha).

Jelas, untuk mencapai target swasembada beras, Kementan masih mengandalkan sistem lama yaitu intensifikasi a’la “Revolusi Hijau”. Sistem ini mengandalkan aplikasi paket teknologi budidaya unggul (benih, pupuk, pestisida, pengairan) oleh unit-unit “usahatani keluarga” yang diorganisir dalam kelompok tani.

Ini kabar buruk untuk target “swasembada beras”. Fakta bahwa sistem itu telah gagal mewujudkan swasembada beras berkelanjutan, mestinya cukup sebagai alasan beralih ke sistem baru.

Sistem Gagal

Kecuali tahun 1984 dan 2008, sistem intensifikasi a’la “Revolusi Hijau”, tak pernah lagi mewujudkan swasembada beras. Penyebab kegagalan itu, pertama, karena aplikasi paket teknologi pada sistem itu menjenuhkan tanah (pemupukan berlebih) dan mengimunkan hama/penyakit (pestisida berlebih). Akibatnya terjadi pelandaian peningkatan produktivitas padi.

Kedua, sistem itu tidak memiliki perangkat deteksi cepat-tepat dampak destruktif perubahan iklim global. Akibatnya respon antisipatif tak dapat dilakukan secara memadai, sehingga terjadi kegagalan produksi.

Ketiga, sistem itu mengutamakan teknologi budidaya ketimbang manajemen. Akibatnya, petani tak mampu mengelola aplikasi teknologi budidaya sesuai tuntutan agro-klimat, agro-ekologi, dan agronomis.

Keempat, dalam rangka swasembada beras, sistem itu memposisikan organisasi Kelompok Tani sebagai “alat produksi negara”. Akibatnya petani gagal menjadi komunitas mandiri yang inovatif.

Dengan empat kelemahan itu, maka langkah business as usual Kementan hanya akan mengukuhkan “sistem gagal” saja. Untuk mewujudkan swasembada beras, diperlukan sebuah sistem baru yang bebas dari empat kelemahan itu.

Pertanian Presisi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline