"Gaudeamus Igitur. Kuingin sekali lagi saja menyanyikan lagu itu dalam suatu ritus wisuda sarjana."
Hari masih pagi, pukul 07.15 WIB. Istriku dan aku memasuki "gedung besek", Muladi Dome Universitas Diponegoro (Undip) di Tembalang, Semarang. Hari itu, Kamis 7 November 2024, digelar tahap empat Wisuda ke-176 Undip. Anak perempuan kami adalah salah seorang dari winisuda.
Kami bahagia di pagi hari itu, juga para orangtua lain. Buah doa, perjuangan dan air mata anak-anak kami akan dirayakan bersama sivitas akademika Undip. Sebuah tonggak capaian hidup ditancapkan hari itu.
"Akan kusempurnakan bahagia ini dengan ikut menyanyikan Gaudeamus Igitur," rancangku dalam hati. Sepanjang usiaku, baru dua kali aku menyanyikan lagu (anthem) wisuda sarjana sedunia itu dalam upacara resmi. Pertama pada hari aku diwisuda menjadi sarjana dan, kedua, pada hari anak pertama kami diwisuda.
Aku ingin menyanyikannya sekali lagi saja. Sehingga lengkap tiga kali. Upacara Wisuda ke-176 Undip inilah kesempatanku.
Itu bukan sebuah keinginan yang berlebihan, bukan?
Takada Gaudeamus Igitur
Tepat pukul 09.00 WIB rangkaian acara wisuda di mulai. Para winisuda berbaris memasuki ruang aula Muladi Dome yang amat jembar.
Jumlah winisuda tahap empat pada pagi itu 889 orang, bagian dari total 3.888 winisuda Undip tahun 2024. Mereka adalah lulusan Fakultas Peternakan dan Pertanian (FPP, 189 orang), Fakultas ISIP (FISIP, 317 orang), dan Fakultas Sains dan Matematika (FSM, 383 orang).
Para winisuda memasuki aula dengan iringan musik gending Jawa yang dimainkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan Undip. Aku, asli Batak, tak tahu judul komposisi yang dimainkan. Ibu Pembawa Acara tidak memberitahu.