Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Nulla Dies Sine Linea: Kisah Transformasi dari Menggambar ke Menulis

Diperbarui: 28 Oktober 2024   21:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paus Fransiskus dipeluk dan memeluk seorang anak kecil (Sketsa oleh Felix Tani 28.10.2024)

"Nulla dies sine linea" -- tiada hari tanpa garis (Gaius Plinius Secundus dalam Natural History, XXXV, 84).

Seorang rekan, sesama eks Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar, mengingatkanku akan pepatah Latin itu. "Itu nasihat Pastor Philipus kepada kita dulu," katanya.

Ah, aku bukannya lupa, kawan. Tapi saat Pastor Philipus, OFM Cap., guru gambar SMCS (1972-2007) mengujarkan nasihat itu, aku pasti sudah keluar dari seminari. 

Rekan tadi menyitir pepatah itu menanggapi artikelku, "Pelajaran Menggambar: Secuil Kisah Formasi Imam di Seminari Menengah Siantar" (Kompasiana.com, 23/10/2024). 

Pepatah itu pertama sekali diujarkan Gaius Plinius Secundus (23 M - 25 Agustus 79), disebut juga Plinius Tua.  Dia  seorang filsuf, naturalis, penulis, dan komandan tentara Romawi. Dia mengatakan itu sebagai sanjungan untuk Apelles (332–329 SM), seorang pelukis Yunani.  Apelles tak pernah melewatkan satu hari pun tanpa menggambar setidaknya satu garis. Kelak, pepatah itu diabadikan dalam buku Proverbiorum libellus (1498) karya Polydorus Vergilius (1470-1555). 

Di era modern, ucapan Plinius ternyata disitir oleh sejumlah sastrawan besar.  Émile Zola (1840-1902), penulis besar Prancis, menuliskannya pada ambang perapian di kantornya. Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis Prancis, menyitir pepatah itu dalam biografinya, Les Mots (1963), "Saya masih menulis. Apa lagi yang harus dilakukan? Nulla dies sine linea." (Lihat: Nulla dies sine linea, Wikipedia.org)

Hampir 2,000 tahun kemudian ucapan Plinius Tua itu dirumuskan Thomas Alva Edison (1847-1931), penemu lampu pijar, dalam konteks yang lain. Katanya: "Jenius itu satu persen inspirasi dan sembilan puluh sembilan persen keringat." 

Maksud Edison, karya besar tidak bergantung pada ide hebat di kepala, melainkan pada kerja keras mewujudkannya. Lampu pijar niscaya cuma ide semata bila Edison tak jatuh-bangun melakukan eksperimen guna mewujudkannya. Ibarat seorang pelukis, merujuk Plinius, mustahil menghasilkan sebuah lukisan hebat bila tak mulai menggoreskan sebuah garis di kanvas. Begitupun seorang penulis tak mungkin menghasilkan tulisan hebat bila tak mengawalinya dengan sebaris kalimat.

Intinya, seperti kata pepatah manajemen modern, "proses tak mengkhianati hasil." Tak bisa lain, aku sepakat dengan Plinius Tua, atau kemudian Zola, Sartre, dan Edison. Aku sudah mengalaminya sendiri. Dari tadinya seseorang yang berangan-angan menjadi pelukis, jatuhnya aku kini menjadi penulis amatiran.

Memudarnya Kebiasaan Menggambar

Sebenarnya aku tak paham dari mana mendapat bakat menggambar. Ibu-bapakku, nenek-kakekku, dan nenek-kakek buyutku tak ada yang punya bakat melukis. Karena itu validitas teori hereditas Pastor Gregor Mendel patut dipertanyakan sebenarnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline