"Semarang juga perkara gudeg, bukan hanya soal lumpia dan wingko babad." -Felix Tani
Tembalang, Semarang selepas isya, Selasa di awal Agustus (7/8/2024).
"Aku mau makan malam sama ibu dan ayah," pinta anak gadis kami.
Adakah orangtua yang tega menolak permintaan anak gadisnya untuk makan malam bersama? Kalau pun ada, untuk saat ini, itu pasti bukan aku. Biarpun dana cekak, karena sayang anak, ya kuaada-adakanlah. Sekalipun itu seadanya.
"Mau makan apa?"
"Gudeg koyor Mbak Tum, khas Semarang."
"Gudeg Semarang? Bolehlah."
Aku mengiyakan, istriku juga. Walau tubuh kami sejatinya sudah merengek minta rebahan.
Ada rasa penasaran juga dalam hatiku. Macam mana pula gudeg Semarang itu? Apa bedanya dengan gudeg Solo dan Yogya?
Ah, Yogya. Jadi teringat pengalaman ngapokin di Wijilan. Bertahun-tahun lalu, satu warung gudeg yang paling sohor di sana menolak kedatangan kami dengan satu kata, "Habis!" Padahal panci-panci masih cukup berisi gudeg, krecek, opor ayam, telur, sambal dan entah apa lagi.