Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Gudeg Semarang, Satu Tanya Rasa Usai Makan di Emper Toko

Diperbarui: 20 Agustus 2024   18:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mbak Tum dan pelayan warung sedang menyiapkan gudeg pesanan pelanggan (Dokumentasi Pribadi)

Tembalang, Semarang selepas isya, Selasa di awal Agustus  (7/8/2024).

"Aku mau makan malam sama ibu dan ayah," pinta anak gadis kami.

Adakah orangtua yang tega menolak permintaan anak gadisnya untuk makan malam bersama? Kalau pun ada, untuk saat ini, itu pasti bukan aku. Biarpun dana cekak, karena sayang anak, ya kuaada-adakanlah. Sekalipun itu seadanya.

"Mau makan apa?"

"Gudeg koyor Mbak Tum, khas Semarang."

"Gudeg Semarang? Bolehlah."

Aku mengiyakan, istriku juga.  Walau tubuh kami sejatinya sudah merengek minta rebahan. 

Ada rasa penasaran juga dalam hatiku. Ingin tahu bedanya gudeg Semarang dengan gudeg Yogya dan Solo. 

Sebenarnya dalam benakku masih asa sedikit sisa trauma gudeg Wijilan Yogya. Bertahun-tahun lalu, satu warung gudeg yang paling sohor di sana menolak kedatangan kami dengan satu kata, "Habis!" Padahal panci-panci masih cukup berisi gudeg, krecek, opor ayam, telur, sambal dan entah apa lagi.

Ternyata warung gudeg itu lebih mendahulukan pesanan orang di luar sana ketimbang konsumen yang datang langsung ke warung. Gak Yogya banget  Sama sekali tak menghargai tamu dari jauh. Kemana tuh sopan-santun Yogya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline