"Konyol itu kocak, tertawalah."-Felix Tani
Hidup waras lurus seumur hidup itu membosankan. Itu semacam berkendara di jalan tol lurus mulus dengan jejeran pohon-pohon bintaro di kiri dan kanannya. Bikin ngantuk.
Hidup itu, ya, sekurangnya macam lewat jalan tol layang MBZ-lah. Turun naik gronjalan walau "melayang di udara". Tol konyol itu.
Konyol itu kocak. Macam mobil meluncur di tol MBZ, jalannya kocak.
Karena itu suatu peristiwa konyol, sememalukan apapun itu, layak dianggit dan diagihkan kepada khalayak.
Banyak gunanya. Sekurangnya dia menjadi satu cara menertawakan diri. Syukur-syukur merangsang syaraf geli pembaca juga. Kalau pun, misalnya, gagal menjadi bahan pelajaran.
Itulah yang kulakukan baru-baru ini. Menulis dan membagikan kekonyolan pribadi ke ruang publik.
Bukan untuk membanggakannya -- lha, konyol kok bangga. Tapi semata untuk bahan refleksi sambil tertawa saja.
Kencing yang Bermartabat
Ketika aku menulis "Pengalaman Kencing yang Bermartabat di Bumi Serpong Damai" (Kompasiana, 24/6/2024), niatku jauh dari pamer telah kencing di 22 provinsi Indonesia. Buat apa pamer. Toh ada orang yang lebih hebat telah kencing di 23 provinsi tapi diam-diam saja.