Setiap orang harus bisa menulis tapi tidak setiap orang harus menjadi penulis. -Felix Tani
Lantas bagaimana dengan orang yang buta huruf? Seseorang mungkin bertanya begitu. Ah, kalau soal itu, tanyakan dulu kepada pemerintah mengapa di era Internet of Things (IoT) ini masih ada warga buta huruf.
Lupakan saja pertanyaan itu. Sebab aku sedang bercerita tentang sekelompok Generasi Z (Gen Z) yang melek huruf. Lebih dari itu mereka dikenal sebagai warga digital (digital netizen). Mereka sudah bersentuhan dengan internet sejak usia balita.
Bagi Gen Z itu aktivitas menulis -- entah itu fiksi atau non-fiksi, mulai dari sekadar cuitan sampai artikel -- adalah bagian dari literasi digital. Bagi mereka melek digital dengan sendirinya adalah melek huruf.
Aku, seorang warga Generasi Baby Boomers, selama tiga hari (31 Mei-2 Juni 2024) hadir di tengah sekumpulan warga Gen Z itu. Mereka adalah seminaris, siswa SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS) Pematang Siantar. Jumlahnya 132 orang: 85 orang Grammatika (1 SMA), dan 47 orang Syntaksis (2 SMA).
Itu suatu kehadiran yang tak mudah. Dalam kerangka penguatan literasi digital, aku bertugas membantu para seminaris menyadari dan mengembangkan potensi menulis pada dirinya.
Bukan menulis sekadar menulis. Semisal menulis dan membagikan ujaran pendek yang cenderung sensaional dan dangkal di media sosial (medsos), semisal di platform X dan Instagram.
Bukan seperti itu. Ini soal menganggit artikel populer yang bersifat esensial dan relatif mendalam (bernas) tentang sesuatu isu. Lalu mengagihkannya di media sosial atau media massa daring.
Hal tersebut terakhir menjelaskan mengapa penguatan kemampuan menulis masuk ke ranah literasi digital. Tak lain karena kegiatan menulis itu dilakukan di ajang komunikasi digital berbasis internet.