Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Dipanggil tapi Tak Dipilih: Napak Tilas Sentimental di Seminari Menengah Siantar

Diperbarui: 8 Juni 2024   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampak depan gedung utama Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematang Siantar. Perhatikan jalan menyerong dari gerbang ke pintu lobby gedung. (Dokumen Pribadi)

Sabtu itu (1/6/2024), menjelang siang, matahari bersinar cerah, tuntas menguapkan kembali titik-titik air embun di rerumputan pelataran gedung Seminari Menengah Christus Sacerdos (SMCS), di Jalan Farel Pasaribu, Pematang Siantar.

Aku berdiri tegak di depan gerbang gedung berumur 72 tahun itu, tepat seperti kulakukan 50 tahun lalu, saat diantar nenekku untuk melalui hari-hari SMP di sekolah calon pastor itu.

Tak ada yang berubah dari struktur gedung utama sekolah berasrama itu. Dari mulut gerbang, jalan masuk menuju lobby gedung itu masih menyerong ke kiri. Hanya saja, kalau dulu jalan itu ditutupi kerikil, sekarang dikeraskan dengan susunan conblock.

Jalan serong itu seolah mengisyaratkan bahwa, dalam pandangan khalayak, masuk seminari itu adalah pilihan menyerong. Atau sekurangnya dinilai aneh, tidak umum.

Lazimnya pilihan remaja, apalagi Batak, lurus-lurus saja. Sekolah umum sampai kuliah, lulus, kerja, kawin, lalu beranak-pinak. Rumusnya: hamoraon (kekayaan), hagabeon (kaya harta dan anak), hasangapon (mulia).

Menjadi seorang pastor, anggota Ordo Saudara Dina Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum; OFM Cap) pula? Ah, kata orang, itu jalan menyerong. Sudah selibat, tak kawin dan tak beranak, tak ada penerus marga, miskin pula. Di mana letak mulianya?

Tapi bukan cara pandang manusia, melainkan cara pandang Tuhanlah yang berlaku. Ada tertulis bahwa yang hina dan tak terpandang bagi dunia, dipilih oleh Allah, bahkan yang tak berarti, dipilih oleh Allah untuk meniadakan yang berarti. (1 Korintus 1:28)

Perlahan tapi pasti, aku menghitung langkah menapaki jalan masuk menyerong menuju lobby. Itu persis seperti kulakukan di pagi pertama masuk seminari dulu. Bedanya, aku kini sedang mengawali napak tilas riwayat panggilanku sebagai calon pastor. 

Selasar ruang kelas Golongan Kecil, ruang kiri depan tahun 1974 adalah ruang kelas Prima, sekarang ruang tennis meja (Dokumen Pribadi)

Napak Tilas

Di lobby itu mataku melihat dinding kosong warna putih, setengahnya keramik warna senada. Kontras dengan 50 tahun lalu. Waktu itu dinding lobby berwarna coklat tua. Pada dinding kanan, dari arah pintu masuk, tergantung sebuah lukisan reproduksi. Aku lupa persisnya lukisan apa. Mungkin repro The Return of The Prodigal Son karya Rembrandt van Rijn?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline