"Jika ada satu tempat yang kuingin datangi sebelum menutup mata maka itu pasti Bonandolok."
Tak mudah bagiku membayangkan serenitas dan keelokan Shang-ri La dalam novel Lost Horizon anggitan James Hilton.
Dalam novel tahun 1933 itu Hilton mengambarkan Shangri-La sebagai lembah yang mistis dan harmonis di Pegunungan Kunlun, Tibet. Dia adalah surga dunia, tempat warga hidup bahagia, awet muda panjang jmur, di bawah tuntunan seorang Lama dari sebuah biara di sisi barat pegunungan.
Sampai kemudian, lewat foto-foto dan film-film di dunia maya, ke hadapanku disajikan keindahan surgawi Bonandolok, sebuah desa pada suatu lembah tersembunyi di dinding barat Kaldera Toba.
"Ya, Tuhan. Ini dia 'Shangri-La' itu," bisikku terpana, takjub setakjub-takjubnya.
Sudah pasti Shangri-La tak pernah ada. Itu adalah sebuah negeri rekaan Hilton. Mungkin berdasar tampilan sebuah desa lembah kecil yang indah dan damai di pegunungan Kunlun sana.
Jika demikian halnya maka aku juga bisa juga membayangkan lembah Bonandolok sebagai "Shangri-La", surga yang terselip di antara bebukitan Kaldera Toba.
"Kenapa baru sekarang aku tahu tempat ini?" Aku menyesali diri.
Sebegitu lama, Bonandolok seakan bersembunyi dariku. Padahal aku sudah mengunjungi Tongging, Paropo, dan Silalahi di utaranya. Juga menyaksikan Sianjurmula-mula, Harianboho, dan Pangururan di selatannya.