Tak banyak orang Batak seperti Juara Dungdang Siraja Pane. Tokoh antagonis dalam legenda Sipisosomalim ini terkenal sakti raga dan kata.
Kesaktiannya diungkap dengan syair yang menggentarkan lawan. Dikatakan begini: "Juara Dungdang Siraja Pane, itullang so ra bugang ibodil so ra mate, dangka do dupang sae hata menggarar utang." Artinya: "Juara Dungdang Siraja Pane, ditombak tak kunjung luka dibedil tak kunjung mati, dahan adalah cabang cukup kata membayar utang."
Di masa lalu, utang bisa menjadi malapetaka bagi orang Batak. Ketakmampuan bayar utang bisa berakhir tragis, menggadai diri atau istri atau anak menjadi hatoban, budak bagi parsingir, pemiutang atau kreditur.
Itu tak berlaku bagi Juara Dungdang. Sihir kata-katanya mujarab untuk semua utangnya. Di masa kini itu mungkin seperti seorang bupati, gubernur, atau presiden yang mampu melunasi utang janji kampanye hanya dengan kata-kata.
Tapi dikemudian hari ada yang lebih jitu ketimbang kata-kata Juara Dungdang. Itulah kopi Sigararutang, jenis Arabika yang leluhurnya tumbuh di Ethiopia/Yaman. Kopi ini tampil sebagai juru selamat orang Batak, khususnya pekebun kecil, dari jeratan utang.
Kopi Sigararutang kini identik dengan kemakmuran, sekalipun itu dalam lingkup kampung, bagi orang Batak pekebun kopi di dataran tinggi Kaldera Toba. Atau setidaknya bagi pekebun kopi Humbang Hasundutan (Humbahas), tempat varietas kopi itu pertama kali ditemukan dan dibudidayakan.
Riwayat Kopi Sigararutang
Dunia harus berterimakasih kepada Ompu Sopan boru Siregar. Di dalam kebunnyalah, di kampung Batugaja, Paranginan, Humbahas (1,400 mdpl) untuk pertama kalinya tahun 1988 kopi varietas Sigararutang ditemukan. Waktu itu tinggal tiga pohon yang masih hidup.
"Penemuan" kopi Sigararutang itu terjadi persis 100 tahun terhitung sejak penanaman pertama (1888) kopi Arabika di Humbahas, atau hampir 300 tahun sejak kopi Arabika pertama ditanam di Batavia (1696).
Dikisahkan benih kopi pertama datang ke Tanah Batak membonceng tentara Kolonialis Belanda. Penanaman kopi, komoditas Cultuurstelsel atau Tanam Paksa, itu di Paranginan menandai penancapan kekuasaan penjajah di Tanah Batak.