Serenitas eksotis itu bernama Tao Sidihoni, diam bersembunyi di punggung Pulau Samosir, aman dikelilingi biru air Danau Kaldera Toba.
Berdiri di tepian Tao Sidihoni, atau di perbukitan yang mengitarinya, serasa berada di negeri dongeng. Suatu tempat dengan keindahan eksotis yang tampak asing, seumpama keping surga yang jatuh di punggung Pulau Samosir.
Seperti berada di pedesaan New Zealand atau Switzerland. Itu kata orang-orang yang pernah berkunjung ke sana. Atau mereka yang sekadar mengenal dua negeri itu dari lembar kartu pos atau gambar kalender.
Mungkin bukan sebuah pengandaian yang berlebihan juga. Berdiri di Sidihonidalam dekapan udara dingin pada ketinggian 1,300 mdpl memang serasa terlempar ke negeri asing. Sebuah danau kecil nan elok yang dikelilingi perbukitan padang sabana, ditingkahi barisan pepohonon pinus yang pucuknya menombak langit biru, bukanlah saujana yang biasa-biasa saja.
Hanya setelah melihat kerbau turun minum ke bibir danau, dan anak gembala bersenandung, barulah tersadar Sidihoni itu bagian dari Tanah Batak, yang tersemat di jantung Kaldera Toba.
Terletak di Sabungannihuta Ronggurnihuta, "kampung petir" di punggung Samosir, Tao Sidihoni berada 8 km di sebelah timur kota Pangururan. Hanya seperempat jam berkendara dari ibukota Kabupaten Samosir ini, keping surgawi ini sudah terhampar di depan mata.
Geologi dan Geografi Sidihoni
Sekitar 30,000 tahun yang lalu, pasca supervolcano Gunung Toba 74,000 tahun lalu, dasar danau kaldera didorong magma dan terangkat ke permukaan. Dasar kaldera itu patah dua saat proses pengangkatan. Patahan barat adalah Pulau Samosir sekarang. Sedangkan patahan timur, terpisah oleh selat, adalah dataran Uluan.
Sejumlah aktivitas tektonik pasca timbulnya Pulau Samosir kemudian menciptakan patahan lokal berupa cekungan. Salah satunya cekungan Sidihoni yang kemudian terisi air hujan. Awalnya berupa rawa, lama-lama menjadi tao, danau.
Orang-orang tua di Ronggurnihuta mengenal Sidihoni itu aslinya adalah tanah rawa berhutan. Konon dahulu kala ada orangtua mengasingkan anaknya yang lahir cacat ke situ. Tiap hari anak itu diahoni, diantarkan makanan untuk bertahan hidup. Sejak itu tempat tersebut dinamai "Sidiahoni", kemudian "Sidihoni".