"Tak perlu menunggu Gunung Toba meletus lagi untuk menghancurkan Kaldera Toba. Cukup dengan ulah manusia mengeksploitasi tanpa merawatnya. Maka Kaldera Toba akan menjadi lembah kematian." -Felix Tani.
Tahun 1996 atas prakarsa Bapedal, aku bergabung ke dalam satu tim penelitian masalah pencemaran di Danau Toba. Isu utama waktu itu adalah tingginya volume polutan air danau di satu sisi. Sementara di sisi lain terjadi penurunan ekstrem debit air pada sungai-sungai yang bermuara ke danau, sehingga danau mengalami pendangkalan terutama di musim kemarau.
Dua soal itu, kenaikan volume polutan dan penurunan volume air masuk, berakibat peningkatan konsentrasi polutan di badan danau. Salah satu indikasinya adalah perluasan area tutupan eceng gondok di garis pantai, tersebab tingginya kandungan hara di danau.
Itu masalah serius. Waktu itu Danau Kerinci (Jambi) dan Danau Tempe (Sulsel) hampir hilang di bawah tutupan eceng gondok. Kalau pencemaran tak dikendalikan, tak mustahil pula Danau Toba akan mengalami nasib serupa.
Waktu itu kami mengunjungi lima lokasi di pantai luar dan dalam Danau Kaldera Toba Tongging di utara, Pangururan di barat, Balige di selatan, dan Ajibata serta Simanindo di timur. Hanya untuk meriset sumber-sumber polutan dan tutupan eceng gondok sebagai bukti dampaknya. Lima lokasi itu sampel saja.
Berdasar hasil riset, kami mengajukan dua rekomendasi solutif waktu itu.
Pertama, pada aras kebijakan, kami mengusulkan gagasan Penghargaan Kalpataru untuk tingkat kota kecamatan.
Faktanya kota-kota kecamatan lingkar danau adalah sumber polutan. Limbah pertanian, peternakan, jasa bengkel, industri kecil, dan rumah tangga dari kota dan desa sekitarnya mengalir begitu saja ke danau lewat sungai. Kalpataru mungkin bisa mendorong pemerintah setempat untuk mengendalikan pencemaran.
Kedua, pada aras komunitas, kami menyarankan penggunaan eceng gondok sebagai pakan tambahan untuk ternak babi.