Indonesia U-17 kalah dalam segalanya dari Ekuador U-17, kecuali dalam hal kualitas kiper dan jumlah gol.
Tadi malam, tepat pukul 19.00 WIB, aku duduk manis menonton laga perdana Indonesia U-17 di ajang Piala Dunia. Tanpa ditemani kopi dan kekacangan. Sebab aku takut kesedak biji dikotil kacang kalau Indonesia dibombardir.
Maklum, Ekuador U-17 itu bukan tim kaleng biskuit Kong Fe Lix. Tampang balok sangar, isi remah rangginang. Dia peringkat 2 Piala Conmebol U-17 Amerika Selatan. Brasil aja, peringkat 1, gak mampu menaklukkannya.
Indonesia U-17? Nah, harus diakui dengan rendah hati, tim kita ikut ajang Piala Dunia ini lewat tiket "Tuan Rumah". Dus, bukan karena perjuangan tim tapi karena upaya keren PSSI dan pemerintah.
Tapi ingat, keikut-sertaan itu prosedural, ya. Bukan hasil terabasan kolutif tak etis lewat perubahan aturan FIFA.
Karena itu aku sadar dirilah. Proses pembentukan dan penyiapan Indonesia U-17 itu jauh dari ideal. Cuma pemusatan latihan dan laga ujicoba melawan tim-tim U-17 lokal di Jerman. Tapi, ikut gaya Jawa, ini juga sudah untung.
Karena itu aku sampai terlonjak dari sofa saat gawang Ekuador dibibol Kaka dengan teknik tendangan bebek nyocor. What? Emejing!Skor 1-0 untuk Indonesia?
Bajingan dikau, Dik Kaka! Kau tumbuhkan seketika harapan di hatiku.
"Bah, jago juga timku ini!" sorakku dalam hati. Maka kuseduh untukku itu secangkir kopi. Itu nunut nasihat Mas Jokpin (Joko Pinurbo): Keberhasilan sekecil apapun, layak dirayakan dengan secangkir kopi.
Sisa pertandingan setelah gol dunia Indonesia itu gue pantengin dengan debar jantung yang semakin berdebur. "Sialan ini kopi, keras banget." Aku mengkambing-hitamkan kopi perayaan itu.