Aku menginjakkan kaki di tanah yang belum kukenal. Tanah Tulangbawang di pedalaman Lampung Utara.
Pergi ke Tulangbawang tahun 1984 ibarat bertualang ke usus buntu. Perjalanan dari Menggala berhenti sampai situ saja. Keculai memaksakan diri bertualang ke Mesuji, jauh terpencil di utara.
Aku sadar Tulangbawang masih tanah Indonesia. Keyakinanku, sepanjang bertujuan baik maka aku pasti akan diterima dengan baik pula di situ.
Begitulah yang terjadi. Aku melangkah menapaki jalan pemukiman menuju kantor Kepala Satuan Pemukiman Transmigrasi (KSPT) Tulangbawang. Kantor itu berdiri di sebelah kiri jalan. Bersisian dengan rumah dinas KSPT.
Ternyata Pak Samuji, KSPT, tidak berada di tempat. Aku bertemu dengan Pak Cahli, sekretaris KSPT, satu-satunya pegawai di kantor itu.
Setelah memperkenalkan diri, menerangkan tujuan, dan menyerahkan surat pengantar dari Departemen Transmigrasi, Pak Cahli mengantarku ke Mess SPT Tulangbawang. Aku dipersilahkan menempati satu kamar di situ. Gratis.
Masalah pemondokan selama riset skripsi terpecahkan sudah. Untuk makan sehari-hari, aku sudah lihat ada warung makan di Pasar Unit IV. Tempatnya persis di seberang kantor KSPT.
Mendapat Pondokan yang Lebih Baik
Mendekati sore, aku baru sadar ternyata tinggal sendirian di mess transmigrasi. Betapa sepinya. Tak enaklah kalau tak ada teman bicara.
Untungnya, sekitar pukul 5 sore ada rombongan tiga mobil hardtop datang. Ternyata rombongan Perbakin yang pulang dari berburu rusa. Seekor rusa besar, hasil buruan, disangkutkan di atas bumper depan salah satu mobil..
Rezeki mahasiswa skripsian memang gak ke mana. Rombongan pemburu rusa itu mengajakku makan malam bersama. Makan sate daging rusa.