Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Rambut, Uniformitas, dan Otoritarianisme di Sekolah

Diperbarui: 12 September 2023   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi siswa (Foto: Shutterstock via KOMPAS.com)

"Isi kepala di balik topi baja
semua serdadu pasti tak jauh berbeda
Tak peduli perwira bintara atau tamtama tetap tentara"

- Serdadu, Iwan Fals

Dulu, tahun 1960-an, saya belajar di sebuah SD Negeri tanpa seragam di Tanah Batak. Pakaian kami bebas. Warna-warni, aneka model. Siswi boleh pakai rok terusan. Tak seorangpun pakai alas kaki. Semua nyeker.

Potongan rambut siswa? Tak ada aturan baku. Norma sosial yang berlaku waktu itu laki berambut pendek. Kelazimannya, bila rambut siswa janggaon, panjang, orangtuanya sendiri yang suruh cukur.

Enam tahun belajar di SD, saya dan teman-teman tidak mengenal uniformitas. Kami bebas mengekspresikan diri melalui aneka model pakaian dan rambut. Tak pernah ada teguran guru soal rambut, apalagi razia.

Ketika belajar di SMP paruh pertama tahun 1970-an, saya tetap bebas dari uniformitas. Saya bersekolah di sebuah seminari di Siantar. Itu sekolah calon pastor, yang membebaskan model pakaian dan rambut. Boleh gondrong, maka saya gondrong.

Bagiku, masa sekolah dari SD sampai SMP itu adalah masa "merdeka belajar". Merdeka dalam arti bebas dari intervensi kuasa negara terhadap otonomi kami atas tubuh kami. 

Eh, kedengarannya serius banget, ya. Pakai istilah "intervensi kuasa negara" dan "otonomi atas tubuh" segala.

Ya, memang soal serius. Seturut pengalamanku, ya.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline