Jangan percaya pada judul tulisan ini sebelum membaca sampai tuntas.
Ini kisah nyata. Fakta, bukan fiksi, apalagi hoaks.
Ceritanya begini.
Empat hari yang lalu, aku minta pada istri untuk dibuatkan balado ikan asin kapas. Ikannya sudah kubeli dua hari sebelumnya dari pasar di belakang Gang Sapi. (Atau Gang Sapi yang di belakang pasar.)
Penjual ikan asin di pasar, seorang nenek cerdas, bilang ikan dagangannya segar semua. Aku tahu dia bohong tapi kuanggukkan sajalah.
Balado ikan asin kapas sudah siap di kuali. Nasi putih pulen beras Cianjur -- ini juga bohong -- sudah siap hangat-hangat di periuk.
Tak perlu waktu panjang untuk memindahkan nasi dan balado ikan kapas ke ceruk piring.
Tapi doa makan sedikit lebih panjang, sebab ini makanan spesial. Jarang-jarang tersaji di meja makan kami.
Lab kres kres, lab kres kres, lab kres kres. Bunyi geligi beradu dengan nasi campur balado ikan kapas. Paduan rasa dan tekstur yang sempurna. Neraka rasanya tertinggal jauh di belakang.
Kretak! Sesuatu semacam batu tiba-tiba tergigit. "Semprul, ada kerikil neraka terbawa serta," pikirku.