Tadi pagi aku membeli buah di kios langganan di pasar belakang Gang Sapi (atau sebaliknya). Kios itu menyediakan aneka buah segar sampai buah rada bosok. Pepaya, nenas, alpukat, buah naga, mangga, salak, pisang, jeruk, leci, dan jambu air.
Setelah mengambil nenas, mangga, dan pepaya, aku tertarik pada jambu air dalam keranjang. Aku terbilang penggila jambu air, "apel Jawa" kata orang bule.
"Itu jambu citra, Pakde." Mbak Diah, tukang buah itu, mempromosikan. Aku sudah menjadi Pakdenya sejak pertama kali membeli buah di situ.
"Manis, Mbak?" Maksudku buahnya, bukan mbaknya.
"Manis," katanya sambil mencomot sebuah dan membelahnya. "Cobain aja, Pakde." Dia mengangsurkan buah terbelah itu padaku.
"Tak usahlah." Aku menolak. "Kulit buahnya gak mulus."
Jambu itu tergolong buah yang rentan. Gampang rusak. Jatuh dari phon ke tanah, pecah. Bergesekan di keranjang saat transportasi, lecet. Kepanasan, busuk.
Begitulah, buah jambu tadi sudah lecet, bopeng, dan bonyok sana-sini macam bisulan. Sama sekali sudah hilang kecantikannya sebagai buah jambu.
Jambu yang cantik kulitnya mulus dan mengkilap. Membuatmu terangsang untuk menggigitnya. Kresh, manis segar.
"Tapi ini manis banget, Pakde." Mbak Diah masih gigih promosi.