Kata orang menunggu itu membosankan. Kataku, tidak. Pada 1 Suro yang lalu istriku dan aku empat jam menunggu kereta tiba. Itu waktu emas yang menggairahkan. Menit-menit sarat literasi. Hasilnya adalah artikel ini.
Pekalongan. Aku pernah bermimpi singgah di kota batik ini. Berkali-kali aku bolak-balik di jalur panturaja, pantai utara Jawa, kota ini terlewatkan begitu saja.
Tapi tak pernah terpikir mimpi itu bakal menjadi kenyataan dengan cara yang aneh. Empat jam duduk menunggu kereta tiba di Stasiun Pekalongan. Tepat pada 1 Suro 2023.
Empat jam, eh? Kedengarannya seperti menunggu penerbangan yang ditunda empat kali di bandara. Bosan, penat!
Ah, tidak. Sama sekali tidak demikian. Itu adalah 240 menit yang sarat pengalaman literasi. Sarat aktivitas mental texting -- maaf, aku tak tahu istilah Indonesia untuk "kegiatan menulis secara mental". Suatu kegiatan menganggit tulisan dalam pikiran.
Macam mana pula itu? Sulit dijelaskan. Jadi ikuti saja ceritaku.
***
Istriku dan aku bepergian ke Pekalongan tanpa rencana. Ada urusan keluarga yang agak genting di Kajen, ibukota Kabupaten Pekalongan. Perginya naik kereta api, pulangnya juga begitu. Mau tak mau, ya mesti mampir di Kota Pekalongan, bukan?
Kenapa kota yang berdiri tahunn 1906 ini dinamai Pekalongan, bukan Pebatikan. Aku bertanya-tanya dalam hati, saat turun dari kereta Argo Muria pada 17 Juli lalu, tepat pukul 11.02 WIB.
Dalam perjalanan ke Kajen, naik mobil sewaan, aku mengubek kisah di internet. Ada satu penjelasan yang masuk di akalku. Nama itu berasal dari Bahasa Jawa halong yang diberi awalan pe- dan akhiran -an, sehingga menjadi pe(k)-along-an, pekalongan.