Pengumuman kelulusan adalah maklumat perpisahan bagi murid-murid kelas enam SD Hutabolon. Sejak hari pengumuman itu, mereka tidak masuk sekolah lagi. Tidak ada lagi pertemuan di dalam kelas.
Takada kata-kata perpisahan atau semacam salam perpisahan. Setelah saling tukar kata yang tak penting, anak-anak lulusan SD itu pulang begitu saja. Sama seperti pada hari-hari sebelumnya. Seakan besok masih akan bertemu lagi.
Nyatanya tak demikian. Mereka tahu itu.
Anak-anak lulusan SD itu akan menapaki jalan hidup masing-masing. Sebagian akan melanjutkan sekolah ke SMP demi mengejar cita-cita.
Sebagian lagi terpuruk di kampung bergelut dengan lumpur sawah. Mereka akan menghitung tahun-tahun hingga cukup umur untuk meminang atau dipinang belahan jiwa.
Tak banyak anak yang melanjut ke SMP. Hanya sembilan orang dari delapanbelas anak lulusan SD Hutabolon.
Binsar, Bistok, dan Jonder akan melanjut ke SMP Lumbanjulu; Alogo, Tiur, Marolop, dan Saur melanjut ke SMP Parapat; Berta melanjut ke SMP Pangururan Samosir.
Sedangkan Poltak, tak bisa ditawar lagi. Dia akan melanjut ke SMP Seminari Christus Sacerdos Pematang Siantar.
Memang tak mudah bagi anak-anak Panatapan, Sorpea, Hutabolon, Portibi, dan Binanga melanjutkan sekolah ke SMP. Alasannya faktor jarak sekolah. Dua SMP terdekat berada di Lumbanjulu, Uluan-Toba dan Parapat Simalungun. Perlu sekurangnya modal sepeda untuk pergi-pulang bersekolah ke sana.
Tapi sepeda adalah barang mewah untuk warga di lima kampung itu. Tak banyak orang yang mampu membelinya. Di Panatapan misalnya hanya Poltak yang punya sepeda, peninggalan kakeknya.