November 1973, murid-murid kelas enam SD Hutabolon memasuki hari-hari terakhir di sekolah. Bulan itu adalah masa ulangan akhir sekolah. Ulangan untuk penentuan kelulusan dari sekolah dasar.
Ada sembilan mata pelajaran yang diambil nilainya untuk syarat kelulusan. Tapi murid-murid kelas enam hanya menjalani ulangan untuk lima vak. Mata pelajaran Pendidikan Agama, Pendidikan Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Empat mata pelajaran lainnya telah diujikan Guru Arsenius tanpa disadari murid-muridnya. Itulah vak Pendidikan Olah Raga, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, dan Pendidikan Kecakapan Khusus. Nilai empat mata pelajaran itu didasarkan Guru Arsenius pada capaian murid sepanjang tahun.
"Dua minggu lagi kalian akan menjalani ujian akhir sekolah." Guru Arsenius mengingatkan di satu pagi pada awal November.
Murid-murid diam, menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Guru Arsenius ikut diam juga, meninggalkan hening.
"Gurunami, vak apa saja yang diujikan?" Poltak bertanya, memecah keheningan.
"Kalian belajarlah Agama, Kewargaan Negara, Bahasa Indonesia, Berhitung, dan Ilmu Pengetahuan Alam." Guru Arsenius merinci mata pelajaran yang akan diujikan.
"Nauli, Gurunami!" Murid-murid serempak mengiyakan.
Dari lima vak itu, Pendidikan Agama paling bikin pusing Poltak dan teman-temannya. Itu satu-satunya vak tanpa buku pelajaran dan buku catatan. Guru Gayus hanya bermodalkan Bibel untuk mengajar murid-murid kelas satu sampai kelas enam.
Setiap jam pelajaran adalah penceritaan satu kisah dari Bibel. Guru Gayus bercerita, murid-murid mendengar. Lalu, sebagai penutup, Guru Gayus menyampaikan muatan budi pekerti dalam cerita. Sudah, begitu saja.