Aku sebenarnya baru empatpuluh hari lalu ke Solo. Melayat kerabat yang pergi berbaring lebih dulu ke pemakaman Untoroloyo.
Tapi itu hari berkabung, bukan hari kulineran. Hilang minatku untuk membayar utang rindu kepada soto dan sate legendaris di "kota halaman" Jokowi itu.
Hari ini adalah peringatan empatpuluh hari kerabat berpulang, menurut tanggalan Jawa. Bukan hari berkabung lagi. Jadi boleh sejenak kulineran, dong.
Terakhir aku menikmati soto Triwindu sekitar lima tahun lalu di belakang Pasar Triwindu baru—di Keprabon Banjarsari. Sudah cukup lama berlalu. Tapi gurih kuahnya, hasil rebusan langsung daging sapi, serasa masih lekat pada papillea lidahku. Empuk dagingnya masih serasa menyisakan slilit di gigiku.
Tapi itu bukan yang pertama. Aku menyesap rasa soto itu untuk pertama kalinya sekitar 25 tahun lalu. Tempatnya masih di Pasar Triwindu lama. Barangkali Ibu Hj. Yoso Sumarto masih sehat waktu itu. Beliaulah yang merintis warung soto itu tahun 1939. Dulu namanya soto Pringgondani.
Sambil memandangi agroekologi koridor jalan tol dalam perjalanan Semarang-Solo, terbit liurku tak tertahankan. Teringat akan rasa soto kegemaran Pak Jokowi itu.
Triwindu, aku datang!
***
"Soto Triwindu!" jawabku cepat ketika salah seorang anggota rombongan keluarga bertanya mau makan siang di mana. Itu anganku, obsesiku. Mobil kami baru saja keluar di exit tol Solo.