Di Kota Lama Semarang pada satu sore yang cerah tapi gerah.
Aku berdiri di depan pintu gerbang Gereja Blenduk tinggalan kolonial. Ingin kupanjatkan sebait doa di bawah cungkupnya. Hendak memohon gerimis turun kepada Tuhan. Sebab udara kota teramat gerah.
Tapi gerbang besi gereja tua itu tergembok kaku. Pun pintu masuknya terkunci rapat. Gereja itu rupanya tak sudi dicemari doa picisan seorang umat kelana. Dia menutup diri, angkuh. Seangkuh kolonialisme tempo dulu.
Ingin aku menjadi hantu. Menembusi tembok tebal gereja. Lalu bersimpuh merendah di depan altar-Mu.
Tapi aku tetaplah manusia, kembara dina dunia fana.
Sebab itu kulangkahkan kaki ke Taman Srigunting di samping gereja. Duduk pada bangku di bawah rimbunan tajuk pohon trembesi tua yang teduh. Trembesi yang lebih ramah tinimbang gereja tua.
Di bawah naungan trembesi, khusuk kupanjatkan sebait doa kepada Tuhan, mohon gerimis di sore yang gerah. Tapi hingga mentari menjelang hempas ke peraduan, gerimis tak kunjung datang jua. Udara kota tetap gerah.
Kurasa bukan karena Tuhan sedang menghukum Kota Lama pada sore itu. Tapi karena aku telah salah hitung. Reranting trembesi tua itu teramat sarat. Kulihat sebait doaku merana tersangkut di sana. (eFTe)