Minggu, 14 Mei 2023, menjelang siang, sepulang dari gereja. Tak diharap, pesan lelayu masuk via WA di layar ponsel. Seorang kerabat, paklik (82), berpulang di Surakarta.
Malamnya, pukul 20.45 WIB, kereta api Argo Lawu jurusan Stasiun Solo Balapan bertolak dari Stasiun Gambir Jakarta. Di dalam salah satu gerbongnya ada bapak mertuaku, istriku, dan aku. Perjalanan menuju titik duka dimulai. Itu jauh dari menarik, bahkan tidak diharapkan.
Stasiun Balapan Solo, pukul 03.50 WIB. Kereta tiba tepat waktu. Sebaiknya memang begitu. Jangan bikin kesal orang berduka dengan keterlambatan kereta. Pahalamu dipotong!
Perjalan ke rumah duka dilanjutkan menggunakan jasa Gocar. Ongkosnya cuma Rp 16.500. Jauh di bawah tarif taksi stasiun sebesar Rp 50,000 untuk semua tujuan dalam kota. Bagaimana bisa bersaing?
Tak sampai sepenghisapan rokok, kami sudah tiba di rumah duka. Peluk cipika-cipiki, saling melepas duka, dengan air mata tersimpan di pelupuk mata.
Melepas rasa duka tanpa ratap-tangis. Ingat, ini keluarga Jawa. Pandai menyimpan duka. Bukan keluarga Batak yang full andung, ratapan duka khas Batak.
***
Setelah saling-lepas rasa duka, dan memanjatkan doa pribadi untuk almarhum, aku beristirahat di teras samping rumah. Beberapa orang tetangga dan kerabat sedang sibuk menyiapkan kelengkapan upacara pemakaman menurut adat Jawa di situ.
Meski sedang berduka dan terkantuk-kantuk, lantaran selalu gagal lelap di kereta api, naluri risetku tak bisa dibendung.
"Mbak, lagi bikin apa?"tanyaku pada seorang perempuan yang mencampur beras kuning, uang koin, dan kembang di dalam sebuah rantang plastik.
Itu menarik perhatianku. Sebagai orang Batak, aku belum pernah melihatnya. Bahkan dalam beberapa kali menghadiri pemakaman orang Jawa di Jakarta, aku belum pernah menyaksikannya.