Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Filosofi Bahu Pijakan dan Pikiran Terbuka dalam Praksis Pendidikan

Diperbarui: 14 April 2023   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi proses belajar-mengajar di kampus (Foto: Dok. UPH via kompas.com)

Dulu, sewaktu masih mengajar mahasiswa, seorang senior menyitir Ki Hadjar Dewantara untuk menasihatiku dan teman-teman junior. Katanya, pengajar itu harus menjadi panutan di depan, penyemangat di tengah, dan pendorong di belakang.

Berat sekali, pikirku. Sudah harus mengemban tridharma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat), mesti mengamalkan trilogi pendidikan pula (panutan, penyemangat, dan pendorong).

Seorang pengajar harus punya kualifikasi manusia super, kalau tuntutannya begitu. Apakah itu tak berlebihan? Bagaimanapun, pengajar hanyalah manusia biasa.

Tapi begitulah. Sekitar sepuluh tahun pertama saya mengajar dengan berpedoman pada trilogi "panutan-penyemangat-pendorong" itu. Dan jujur saja, saya tak pernah yakin telah mengamalkannya dengan selayaknya.

Padahal, sadar diri sebagai manusia biasa, saya sudah mempersempit wilayah pengamalan trilogi itu pada bidang pendidikan sains saja. Bagaimana agar saya bisa menjadi panutan, penyemangat, dan pendorong mahasiswa dalam penguasaan sains.

Masalahnya ada dalam diriku sendiri. Sebagai orang Batak totok, sungguh tak mudah bagiku untuk mencerna filosofi budaya Jawa "ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" (Ki Hadjar Dewantara). Budaya Batak tak punya filosofi yang sejajar dengan itu.

Beruntung, karena mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Riset Kualitatif, saya harus membaca buku P.B. Medawar (Nasihat untuk Ilmuwan Muda, Jakarta: YOI, 1990) dan buku S.J. Taylor dan R. Bogdan (Introduction to Qualitative Research Methods (John Wiley & Sons, 1984). 

Ada frasa-frasa yang menarik pada dua buku itu yang kemudian menjadi filosofiku dalam pendidikan, sebagai ganti trilogi pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara. Frasa-frasa itu adalah "menyediakan bahu sebagai pijakan" (Medawar) dan "kepala kosong tapi pikiran terbuka" (Taylor & Bogdan).

Filosofi Bahu Pijakan 

Saat membicarakan interaksi antara ilmuwan tua dan ilmuwan muda, Medawar memberi nasihat begini. Ilmuwan tua menyediakan bahu sebagai pijakan bagi ilmuwan muda agar bisa melihat lebih jauh ke depan.

Diterapkan di dunia pendidikan, nasihat itu bermakna bahwa seorang pendidik wajib membagikan sains kepada para peserta didik untuk meluaskan cakrawala pemikiran mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline