Istilah "mentalitas menerabas" saya tahu dari buku Prof. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974). Buku itu saya baca tahun 1980 sebagai rujukan pelajaran Sosiologi Pedesaan.
Prof. Koentjaraningrat menyebut "mentalitas menerabas" itu sebagai salah satu ciri anti-pembangunan dalam budaya masyarakat Indonesia. Dengan "mentalitas menerabas" dimaksudkannya adalah kecenderungan orang Indonesia mengambil "jalan pintas", dalam arti negatif, untuk mencapai tujuan tertentu.
Misalnya begini. Anak bodoh (tapi kaya) lulusan SMA membayar seorang joki untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi atas namanya. Nah, perjokian itu adalah wujud "mentalitas menerabas", penggunaan "jalan pintas".
Atau kasus yang sedang viral. Orang miskin yang ingin cepat kaya, pergi ke dukun pengganda uang, alih-alih bekerja keras. Dukun pengganda uang -- juga aneka pesugihan -- adalah cermin mentalitas menerabas.
Boleh dibilang, mentalitas menerabas adalah predisposisi -- kecenderungan sikap dan tindakan -- menghalalkan segala cara di luar kewajaran untuk mencapai tujuan. Seseorang yang bermental penerabas cenderung menyimpang dari norma sosial (kebiasaan, tatalaku, adat/hukum) demi tujuan.
Saya teringat pada istilah "mentalitas menerabas" itu saat mengikuti pemberitaan tentang Mario Dandy yang menganiaya David Ozora dan, kemudian, Timnas Indonesia U-20 yang merisak Gubernur Jateng Ganjar Pranowo (dan Gubernur Bali I Wayan Koster).
Dua kasus yang membuat saya masygul karena keduanya sama-sama menunjuk pada gejala mentalitas menerabas. Hanya beda aras: kasus Mario di aras keluarga sedangkan kasus Timnas U-20 di aras negara.
Saya akan jelaskan di bawah ini.
***
Cara sederhana mengenali mentalitas menerabas pada individu atau kelompok adalah dengan menjawab pertanyaan ini. Apakah raihan (achivement) individu atau kelompok itu sebanding dengan upayanya (effort)?