Saya dikeroyok rekan-rekan guru dalam satu WAG lantaran membagikan pesan seperti judul artikel ini.
Macam-macamlah. Ada yang mau nyate -- yah, tinggal cegat abang tukang sate, kan. Ada yang mau nyolong susu sapi jantanku -- ada rekan guru yang percaya sapi jantan punya air susu. Ada pula yang ..., ah, sudahlah.
Perasaan, kalau saja kejadiannya bukan di WAG, tapi luring, saya sudah pasti terbaring koma di rumah sakit -- atau di rumah, sakit. Sambil di media daring dan medsos viral berita "Seorang Lansia Dianiaya Sekelompok Guru Sampai Koma".
Lalu akan viral pula tagar #SaveLansia dan #TangkapGuru.
Wah wah wah. Negeri ini memang absurd. Yang gak masuk akal terjadi dan, sebaliknya, yang masuk akal gak terjadi.
Saya sebenarnya membagikan pesan itu sebagai respon pada seorang rekan guru yang membagikan artikel "Pengalaman adalah Guru yang Berharga" (cari sendiri di Kompasiana).
Nah, itu dia pemicu tanya.
Kalau pengalaman adalah guru yang berharga, apakah (menjadi) guru itu pengalaman yang dihargai?
Sebenarnya saya ingin mendapat respon berdasar pengalaman rekan-rekan guru. Apakah mereka merasa dihargai oleh para stakeholder? Murid, orangtua murid, dan pemerintah?
Sebab saya pernah beberapa kali membaca berita guru dianiaya muridnya. Juga, berita guru dianiaya orangtua muridnya. Belum lagi berita guru dipersekusi atau dibully.