Apa yang menarik dari unjuk rasa kepala desa (kades) di Gedung DPR Senayan baru-baru ini?
Ikhwal tuntutan perpanjangan masa jabatan kades dari 6 menjadi 9 tahun?
Tidak. Itu sama sekali tak menarik. Sebab tuntutan itu bukan saja tak berdasar. Lebih dari itu, ia tidak esensil sama sekali. Tak ada hubungannya dengan program-program pembangunan desa yang belum tuntas.
Durasi masa jabatan kades tak akan pernah menjadi soal, apabila pembangunan desa dijalankan di atas prinsip keberlanjutan. Yang belum tuntas oleh kades lama, dilanjutkan kades baru.
Lain hal kalau ganti kepala desa ganti program. Maka desa hanya akan menjadi laboratorium praktek kepemimpinan desa. Nasib desa akan menjadi semacam Sisyphus. Terguling kembali ke kaki gunung setiap kali ganti kades.
Lagi pula bisa jadi preseden buruk, bukan?
Kalau masa jabatan kepala desa bisa diamandemen dari 6 menjadi 9 tahun, maka masa jabatan bupati/walikota, gubernur, dan presiden bisa juga diperpanjang, dong. Alasannya sama: demi ketuntasan program pembangunan.
Terang benar. Tuntutan perpanjangan masa jabatan kades itu tak ada logikanya. Kalau bukan sebuah sesat pikir.
Karena itu, saya tak tertarik membahas isi tuntutan unjuk rasa para kades, dan kemudian juga aparat desa, tersebut. Itu hanya sesuatu yang manifes tapi tak substantif.
Di balik yang manifes itu ada sesuatu yang laten, substantif, yakni modernisasi desa yang bias kota, khususnya di ranah politik demokrasi.